LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Setiap umat islam pasti ingin melaksanakan ibadah haji. Namun pandemi ini membuat ibadah haji tak sama seperti pada waktu-waktu sebelumnya.
Banyaknya batasan dalan beraktivitas membuat jamaah haji tidak bisa leluasa melaksanakan amalan-amalan sunnah.
"Jika pada masa normal, jamaah haji Indonesia bisa melaksanakan umroh sunnah berulangkali, hal ini tidak bisa lagi dilaksanakan," dikutip dari buku Tuntutunan Manasik Haji dan Umrah di Masa Pandemi yang disusun tim Kementerian Agama, dilansir dari Republika.co.id.
Baca Juga: Ridho DA Nikah Bulan Depan, Tak Ada Acara Lamaran
Ibadah Haji harus hati-hati
Haji saat pandemi bisa diibaratkan dalam keadaan perang (qital) karena mempertaruhkan nyawa. Ibadah haji dilaksanakan dalam bayangan rasa takut (fi syiddah al-khauf).
Dalam hal pelaksanaan yang ideal tak bisa terlaksana akibat pandemi, maka jamaah haji melaksanakan ibadah sesuai dengan batasan-batasan yang dimungkinkan sesuai dengan tuntutan realitas di masa pandemi.
Walau demikian, pelaksanaan haji di masa pandemi tetap harus memenuhi rukun dan wajib haji terutama rukun dan wajib haji yang disepakati para ulama. Beberapa wajib haji yang diperselisihkan para ulama seperti mabit di Muzdalifah masih mungkin untuk ditawar demi menghindari resiko berkumpulnya manusia yang dapat menyebabkan penyebaran Covid-19.
Ibadah Haji Diperbolehkan
Pada prinsipnya, di masa pandemi, jika pelaksanaan ibadah haji tidak bisa mengambil pendapat yang lebih hati-hati atau mengambil hukum yang lebih berat, maka dalam kasus tertentu bisa mengambil pendapat yang paling ringan atau mengambil pendapat minoritas. Menurut sebagian ulama, bertumpu pada pendapat minoritas ini diperbolehkan.
Baca Juga: Medina Zein Dilaporkan ke Polisi atas Pencemaran Nama Baik
Di sisi lain, seperti dikatakan Abdul Wahhab Khallaf. Islam mengenal dua jenis hukum. Pertama, hukum-hukum (al-ahkam) yang al-ma’qulah al-ma’na atau ahkam lam yasta’tsiri Allah bi ‘ilmi ‘ilaliha. Yakni hukum yang mengandung illat hukum, sehingga bisa dinalar dan dengan sendirinya bisa dilakukan qiyas (analogi).
Abdul Wahhab Khallaf mengatakan, kedua, hukum-hukum (al-ahkam) yang ghairu ma’qulah al-ma’na atau hukum yang tidak mengandung illat hukum sehingga mujtahid tak bisa melakukan qiyas.
Pada hukum jenis kedua ini, Allah SWT tak menginformasikan illat hukumnya
Berkaitan dengan ibadah haji, Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin menyatakan bahwa aktivitas haji termasuk ke dalam hukum jenis kedua. "Seluruh amalan haji bersifat ta’abbudi," tulisnya.
Dalam hal ini, mujtahid hanya bisa mengambil hikmah hukum, bukan illat hukum.Karena haji termasuk hukum ta’abbudi, maka ia tidak membuka ruang ijtihad. Namun, karena kondisi tertentu dan mendesak, maka sebagian ulama melakukan ijtihad, baik dalam aspek penerapan hukum (tahqiq al-manath) maupun penetapan hukum (takhrij al-manath).
Baca Juga: PPKM Diperpanjang Sampai 20 September, Ini Aturan yang Harus Ditaati
Misalnya, pemerintah Arab Saudi dengan dukungan para ulama‟ melakukan perluasan wilayah Mina hingga mencakup wilayah Muzdalifah yang populer dengan sebutan “Mina Jadid”.
Sejumlah perluasan dilakukan karena sejumlah area tempat pelaksanaan ibadah haji sudah sangat sempit dan terbatas, sementara jumlah antrean haji terus bertambah dan semakin panjang.
Itulah hukum dan dalil ibadah haji pada msa pandemi. Semoga informasi ini membantu Anda.
Artikel Terkait
Citra Kirana Ternyata Pernah Nangis Gegara Muak Syuting Tukang Bubur Naik Haji
Saudi Terima Jamaah Haji pada 17 dan 18 Juli
Selain Pergi Haji, Lakukan 5 Cara Ini untuk Meraih Keutamaan Hari Arafah
Dapatkan Izin Ratusan Jamaah Haji, Menag Malaysia: Berkat Ahlak Terpuji
Dapat Izin, Ratusan WNI Bisa Ikut Ibadah Haji 2021
Kapolda Jabar Tegaskan Tidak Ada Mudik untuk Lebaran Haji
Alhamdulillah! Belum Ada Kasus Covid Terdeteksi Selama Musim Haji
Antrean Ibadah Haji Indonesia Capai 30 Tahun
WHO Puji Pelaksanaan Ibadah Haji, Arab Saudi Patut Dicontoh
Akan Dibuka, Berikut Cara Agar Jamaah Haji Indonesia Bisa Berangkat Umrah