Oleh Encep Dulwahab*
SETIAP hari tersiar kabar mengenai tindak kekerasan yang dilakukan anak-anak, remaja, orangtua, dengan latar belakang masalah yang beragam. Tindak kekerasan ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang secara pendidikan rendah, banyak juga dilakukan oleh mereka dengan tingkat pendidikan tinggi dengan profesi yang meyakinkan.
Orang pun terkaget-kaget ketika mengetahui pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal baik dalam kehidupan sehari-hari, orang terdekat dengan korban, dan lain sebagainya.
Itulah sifat hewani manusia yang sewaktu-waktu bisa berubah. Menurut Psikolog Sigmund Freud (1922) bahwa naluri manusia ialah untuk membenci dan merusak. Itulah sebabnya kenapa aksi dan tindakan-tindakan kekerasan di masyarakat susah sekali untuk diselesaikan. Alih-alih bisa dibasmi, malah menjadi budaya kekerasan yang turun temurun.
Mereka yang melakukan tindak kekerasan dan bentuk aksi-aksi perusakan lainnya, tidak bertindak begitu saja, namun ada trigger atau stimulus yang membuatnya melakukan tindakan-tindakan irasional.
Baca Juga: Pesona Natasha Mannuela, Istri Gio MasterChef Indonesia 2023, Ternyata pemenang Miss Indonesia 2016
Menurut Idi Subandy Ibrahim ("kekerasan Budaya", Kompas, 4/02/2023) bahwa para pakar psikologi komunikasi">komunikasi melihat tindak kekerasan sebagai dampak dari berbagai tayangan kekerasan di media yang dikonsumsi oleh penonton, memiliki beberapa dampak, di antaranya desensitisasi yaitu hilangnya kepekaan, empati, rasa kasihan, dan tidak mau membantu meringankan beban orang lain; Tindakan imitasi atau meniru apa yang dilihatnya di media massa; terakhir ialah adanya pembelajaran sosial.
Budaya Share kekerasan
Khusus untuk peniruan yang dilakukan penonton dari tayangan yang dikonsumsinya, Fredric Wertham dalam School for Violence (1964) menunjukkan bahwa media massa bisa membuat anak muda tidak hanya terlatih menjadi penjaga perdamaian, akan tetapi penjaga kekerasan. Tergantung frekuensi tayangannya, apakah perdamaian atau kekerasan. Kalau banyak mengonsumi konten-konten perdamaian, maka akan menginspirasi untuk mengimplementasikan hidup rukun.
Sebaliknya kalau porsi tayangan kekerasan dikonsumsi secara intensif, bisa menjadi rujukan dan contoh-contoh untuk berbuat anarkis dan tindakan negatif lainnya.
Niatan media untuk mengonstruksi berita-berita atau tayangan kekerasan ialah agar tidak terjadi tindakan yang sama di kemudian hari, agar masyarakat lebih waspada, sehingga dengan demikian tindak kekerasan bisa dihilangkan. Sayangnya, lebih banyak dimaknai sebagai sumber ajaran untuk melakukan hal yang sama.
Berbagai motif tindak kekerasan terjadi karena terinspirasi dari tayangan di media massa, mulai dari film, berita, dan berbagai informasi lainnya yang bermuatan kekerasan. Kalau sekarang ditambah dengan konten-konten di media sosial yang begitu bebas diakses dan tidak bisa ditahan-tahan lagi. Tanpa batasan siapa pun bisa menjadi pembuat pesan, tanpa ada mempertimbangkan efek, yang penting kejadian-kejadian apa pun ingin segera di-share agar bisa dikatakan up date.
Baca Juga: Pesona Natasha Mannuela, Istri Gio MasterChef Indonesia 2023, Ternyata pemenang Miss Indonesia 2016
Semua konten di media massa dan media sosial yang awalnya ditujukan sekadar memberikan informasi ke orang lain, bisa menjadi sumber pendidikan kekerasan dan melakukan aksi yang sama di tempat lain. Walhasil terjadilah penyebaran kekerasan dengan motif yang sama di beberapa daerah yang sebelumnya adem ayem.
Meniru Idola
Artikel Terkait
Putar Balik Fakta Putri Candrawathi Malah Salahkan LPSK: Saya ini Korban Kekerasan Seksual
Ferry Irawan Jadi Tersangka KDRT, Ini Kronologi, Penyebab hingga Kekerasan yang Diterima Venna Melinda
Hal Sepele Berujung KDRT, Venna Melinda Bongkar Awal Mula Terjadinya Kekerasan yang Dilakukan Ferry Irawan
Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Cimahi Naik 3 Kali Lipat, Apa Penyebabnya?