Babah Liem Siang alias Munada

- Senin, 6 Februari 2023 | 10:44 WIB
Naskah Wawacan Carios Munada (1910, Mal. 1612 & Cod. Or. 6484) karya Mas Kartadinata, hasil transliterasi dan terjemahan Edi S. Ekadjati dan Aam Masduki (1993).
Naskah Wawacan Carios Munada (1910, Mal. 1612 & Cod. Or. 6484) karya Mas Kartadinata, hasil transliterasi dan terjemahan Edi S. Ekadjati dan Aam Masduki (1993).

Oleh ATEP KURNIA*

BEBERAPA penulis mengenai sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia menunjukkan tentang konsep Peranakan dan totok. Salah satunya, Widjajanti W. Dharmowijono (Van koelies, klontongs en kapiteins: het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880-1950, 2009: 38; Bukan Takdir: Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara, 2021: 42) yang mengutip pendapat Leo Suryadinata.

Intinya, orang Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Peranakan dan totok. Peranakan adalah anak-anak atau keturunan dari orang tua atau leluhur bumiputra dan orang tua atau leluhur Tionghoa, khususnya dari garis ayah. Sementara, totok adalah orang Tionghoa yang baru tiba di Indonesia. Ciri khas Peranakan, mereka tidak berbicara dalam bahasa Tinghoa tapi berbicara dalam bahasa Indonesia atau daerah dalam lingkungan rumah.

Konsep Peranakan sejak awal berkaitan dengan Islam. Dari hasil penelitian Mona Lohanda (The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942, 1994: 18) terbukti hingga abad ke-19 istilah Peranakan berarti orang Tionghoa yang memeluk agama Islam atau Peranakan adalah Tionghoa Muslim. Hingga 1828, kelompok mereka diatur oleh kaptennya sendiri, yang disebut sebagai kommandant der Parnakkan Chineezen. Di Batavia, posisi kapten tersebut dipegang seorang keluarga Tamien Dossol.

Literatur yang dijadikan acuan oleh Lohanda antara lain H.J. de Graaf (Islamic States in Java 1500-1700, 1976), M.C. Ricklefs (Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries; the Malay Annals of Semarang and Cerbon, 1984), Regeerings Almanak voor Nederlandsch-lndie 1817-830, F. De Haan (Oud Batavia, vol. II, 1935), D. Lombards (“Une Description de la ville de Semarang”, Review of Indonesian and Malayan Affairs, vol. 18, 1984), dan E.U. Kratz, “Hikayat Raja Pasai: a Second Manuscript”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 1989).

Baca Juga: GBLA Direnovasi, Teddy Tjahjono Ungkap 3 Opsi Homebase Persib Bandung

Bila demikian, kita dapat mengerti kehadiran Liem Siang atau Munada di Bandung pada paruh pertama abad ke-19. Ia termasuk salah seorang Tionghoa yang bisa berusaha di Dataran Tinggi Priangan, meskipun aturan pemerintah kolonial melarang orang Tionghoa memasuki dan berbisnis di daerah tersebut.

Menurut A. Sobana Hardjasaputra (Perubahan Sosial di Bandung, 1810-1906, 2002:75-76), Gubernur Jenderal van der Capellen mengeluarkan peraturan 9 Januari 1821 passenstelsel, yang menyatakan bahwa sejak tahun itu daerah Priangan tertutup bagi pendatang asing, baik orang Eropa maupun Timur Asing (Cina, Arab, Bengal, dan Moor). Tujuannya untuk mencegah orang-orang swasta asing turut melakukan perdagangan kopi.

Menurut aturan dalam Staatsblad tahun 1821 No. 4 dan No. 6 itu, bila orang asing hendak masuk ke Priangan, mereka harus memiliki surat jalan yang disahkan oleh penguasa Priangan. Bila melanggar, mereka didenda sebesar f. 25-f.50 atau dibui selama delapan hari. Bila lupa membawanya, mereka didenda f.10 atau hukuman kurungan selama tiga hari.

Agar terbebas dari aturan itu, kata Hardjasaputra (2002: 76), orang Tionghoa yang akan bepergian dan berusaha di Priangan beralih agama memeluk Islam. Salah satunya Liem Siang, Tionghoa Peranakan asal Kudus, Jawa Tengah, yang kemudian tinggal di Cianjur lalu menetap di Bandung. Ia berganti nama menjadi Munada.

Foto 02. Dua karya Mas Kartadinata lainnya, Rasiah Priangan (1921) dan Pesta Sakola Radja di Bandoeng (1921). Rasiah Priangan pun menyebut-nyebut Munada dan Nagel.
Foto 02. Dua karya Mas Kartadinata lainnya, Rasiah Priangan (1921) dan Pesta Sakola Radja di Bandoeng (1921). Rasiah Priangan pun menyebut-nyebut Munada dan Nagel.

Keterangan Sejumlah Naskah

Literatur mengenai Munada terdapat dalam naskah dan buku Sunda. Menurut Edi S. Ekadjati dan Aam Masduki (Wawacan Carios Munada, 1993: 4), ada empat pustaka yang bertalian dengan Munada, terutama dalam kaitannya dengan pembunuhan Asisten Residen Bandung C.W.A. Nagel (1794-1845). Keempatnya Wawacan Carios Munada, Sajarah Timbanganten, Kitab Pancakaki, dan Babad Raden Aria Adipati Martanagara.

Baca Juga: Rincian Gaji PNS Pensiunan Janda Duda 2023 Terbaru Sesuai Golongan, Apakah Alami Kenaikan?

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Buka Bersama Pejabat Pemerintah, Mengapa Dilarang?

Kamis, 30 Maret 2023 | 15:35 WIB

Mengganti Nama Geografi Kecongkakan Kehendak Pusat

Kamis, 30 Maret 2023 | 13:43 WIB

Selama Ramadhan, Jangan Lupa IBIS

Selasa, 28 Maret 2023 | 14:00 WIB

Wijkmeester Pecinan Suniaraja dan Citepus

Minggu, 26 Maret 2023 | 11:30 WIB

Respek dalam Berkomunikasi

Jumat, 24 Maret 2023 | 11:11 WIB

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB
X