Kehadiran munggahan dengan berbagai tradisinya; silaturahmi, mandi, beberesih, kuramas di sungai, makan bersama (botram) di Sukabumi, bancakan di Tasikmalaya, papajar di Cianjur, ziarah kubur ke makam leluhur, dan kampung adat, ini menjadi bukti nyata atas harmonisasi budaya Sunda dengan Islam sebagai petanda identitas muslim Jawa Barat yang berpijak pada khazanah kearifan lokal.
Pasalnya, suatu bangsa yang besar itu tidak akan melupakan tradisi, budaya sendirinya. Justru kehadiran budaya suatu daerah ini menjadi pilar menyangga keberlangsungan Negara Indonesia tercinta ini.
Harus diakui, Islam yang hadir di tatar Sunda ini telah memperkaya potensi kemanusiaan orang sunda sendiri sebagaimana budaya sunda, dengan caranya sendiri telah ikut andil dalam memperkaya peradaban Islam.
Bagi masyarakat Sunda-Islam yang masih menjadikan ke-Sunda-annya sebagai identitas dan bagian integral dirinya. Islam dipandang sebagai lokus yang memberi ruang formal sebagai penyempurna dalam mewadahi pengalaman batin dan nilai-nilai kearifan lokal dan pengalaman batin masyarakat sunda. (Ahmad Gibson Albustomi,2012;ix-x).
Kesadaran Munggahan
Munggahan adalah tradisi menyambut bulan suci Ramadan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Sunda (Jawa Barat). Mereka biasanya berkumpul bersama orang terkasih dan makan bersama (botram). Bukan hanya keluarga, munggahan pun sering dilakukan di kantor dengan sesama rekan kerja. Tujuan dari munggahan adalah untuk bersilaturahmi menjelang pelaksanaan bulan suci Ramadan agar ibadahnya lancar dan diterima Allah Swt. (Yeti Nurmayati, 2020:11)
Dalam cerita Poe Kahiji, misalnya, dikisahkan bagaimana kagetnya para santri mendengar kiai yang tiba-tiba saja menetapkan hari pertama puasa lebih cepat sehari dibandingkan kampung-kampung lain.
Padahal sejumlah santri sudah telanjur menyiapkan makanan untuk munggahan pada hari itu. Tiba-tiba ada seorang santri yang yang mengaku masih ingat ucapan kiai, yang mengatakan bahwa tidak puasa diperbolehkan hukumnya apabila sedang berkunjung ke tempat yang belum memulai puasa, asal kunjungan itu dilakukan pagi-pagi sekali dan mempunyai alasan yang kuat.
Dengan dasar ucapan sang kiai, pergilah mereka ke kampung tetangga dengan membawa makanan yang sudah dipersiapkan untuk acara munggahan. Sebelum pergi, mereka tidak lupa mengucapkan niat bahwa kepergiaanya untuk mengantarkan kitab kepada seseorang di kampung itu. Sebuah alasan yang sangat kuat karena mengantarkan kitab merupakan pekerjaan mulia dan seyogyanya dilakuakn secara bersama-sama.
Setibanya di kampung tujuan, puasa memang belum dimulai, maka dengan gembira mereka melakuakn acara munggahan, makan bersama-sama tanpa merasa telah melakukan dosa. Sorenya, barulah mereka pulang kembali ke Pesantren sambil senyum-senyum. (Acep Zamzam Noor,2018:56-57)
Sukron Abdilah menegaskan munggahan mestinya bisa menciptakan empati dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam untuk menyadarkan manusia bahwa perilakunya harus bersih dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.
Puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (fakir, miskin) adalah aku (yang merasakan penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun pribadi ke posisi yang dihiasi rasa empati dan kolektivisme.
Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan Ramadan untuk menyadarkan bahwa kita harus terus merasakan dan menanggulangi penderitaan sesama.
Tradisi munggahan merupakan awal dari proses munggahkeun diri untuk memijakkan nilai-nilai ketuhanan di aras kebiasaan yang bernilai sosial dan manusiawi. Jadi, munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar manusia Sunda, hingga dapat mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial adalah salah satu aktus (habitus) yang bakal menaikkan diri kita ke tangga pribadi yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.