Oleh T Bachtiar*
MATAHARI bersembunyi di balik awan saat kami menuruni 444 anak tangga batu yang menurun, Sabtu (21 Januari 2023). Sejak anak tangga pertama hingga anak tangga terakhir di sempadan Ci Wulan, tingginya hanya 80 meter, mulai dari ketinggian +680 m dpl sampai ketinggian +600 m dpl di pusat Lembur Naga yang luasnya 1,5 ha.
Pusat kampungnya berada di keluk Ci Wulan, merupakan benteng air dari sisi barat-utara-timur, yang dipagari secara alami oleh rangkaian tebing curam. Pada masa lalu, satu-satunya pintu masuk ke lembur atau kampung ini dari arah selatan. Namun, perkampungan ini tidak terlihat dengan nyata, karena berada di lembah, di gelung Ci Wulan, yang dipagari rapatnya hutan selebar 300 meter yang menutupi kampung di bagian selatan.
Bila cuaca cerah, 15 km arah barat dari Kampung Naga, terlihat kerucut Gunung Cikuray yang menjulang setinggi 2.821 mdpl. Kampung adat ini berada di kaki selatan Gunungapi tua Karacak-Puncak Gede. Karena berupa gunungapi tua, maka puncak dan lerengnya sudah tererosi dengan kuat, sehingga menyisakan banyak puncak, dan puncak-puncak itu sudah diberi nama.
Secara keseluruhan, ronabuminya berbukit dengan torehan lembah yang dalam, berbeda jauh dengan lereng selatan Gunung Galunggung yang masih relatif halus.
Dari Gunung Karacak-Puncak Gede dan Gunung Cikuray, anak-anak sungai menuruni lereng, bergabung dengan Ci Wulan, mengalir ke tenggara melintasi Kampung Naga, setelah melewati perkampungan lainnya. Pusat permukiman adat bagi 226 jiwa di lembah Ci Wulan itu tidak bisa lepas dari keadaan ekologis di hulu sungai dan perilaku ramah lingkungan atau tidaknya warga di permukiman yang lebih ke hulu.
Bila tatakelola lereng gunung dan bukit di hulu sudah tidak ramah lingkungan, maka air Ci Wulan yang mengalir di keluk seputar Kampung Naga akan keruh. Dan, bila hujan deras mengguyur hulu sungai, air meteorik itu sudah tidak ditangkap oleh lebatnya hutan, tapi langsung memercik tanah, menggerus tanah pucuk yang subur, hanyut ke masuk anak-anak sungai. Di hilirnya, air akan melebihi kemampuan sungai untuk menampungnya, sehingga menimbulkan bah, caah, banjir di sempadan sungai yang lebih rendah.
Sesungguhnya Kampung Naga ini sangat dekat dengan jalan raya antara Garut dengan Tasikmalaya. Untuk sampai di Kampung Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya itu, dari Kota Bandung jaraknya 93 km, dari Kota Garut jaraknya 25,5 km, dan dari Kota Tasikmalaya jaraknya 32,5 km.
Kawasan Kampung Naga terdiri dari permukiman, hutan larangan, hutan keramat, kebon, dan sawah. Warganya berkehidupan di lingkungi lereng yang terjal, persawahan dibuat sengkedan (terasering), dengan hutannya yang terjaga dengan baik, di sini tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Hal ini karena perilaku hidup warganya senantiasa bersyukur, berterimakasih. Seperti pepohonan yang tumbuh besar itu, pastilah ada yang menumbuhkannya.
Dalam menyikapi kuatnya arus budaya “luar”, ketua adat Kampung Naga Ade Suherlin, mengatakan, kami di sini harus "bijaksana dan bijaksini”.
Lebih lanjut pak Ade Suherlin mengatakan, budaya itu harus menjadi tuntunan, tidak sekadar menjadi tontonan. Budaya itu harus menjadi gaya hidup, bukan sekedar menjadi hidup gaya.
Kampung adat ini terbuka. Secara kewilayahan, warganya dapat melanjutkan kehidupannya di luar kampung, namun, walau mereka sudah berada di luar pusat adat Kampung Naga, secara batiniah, mereka masih ada ikatan yang kuat, karena satu jiwa Sanaga.
Mereka harmoni dalam berkehidupan. harmoni dengan alam lingkungan, dan harmoni dengan warga seNaga, dan warga lainnya. Warga Naga berprinsip, seperti dituturkan pak Ade Suherlin, perbedaan itu merupakan warna kehidupan yang tidak perlu dipertentangkan.
Untuk kebutuhan hidupnya, warganya mengolah lahan sawah dan kebun. Hasilnya disimpan di dalam leuit, lumbung pribadi dan leuit komunal. Hasil bumi itu harus menjadi cadangan makanan pokok selama satu musim tanam berikutnya, bahkan bila memungkinkan harus menjadi bekal untuk dua kali musim tanam. Untuk penghasilan tambahan, warganya membuat beragam anyaman dari bambu dan lidi kelapa.
Baca Juga: Daftar Rekomendasi HP Rp 4 Jutaan, Spek, RAM hingga Kamera Bikin Melotot!
Kami diterima dengan sangat baik di Bale Patemon (Balai Pertemuan). Bangunan yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Kampung Naga untuk bermusyawarah tentang berbagai permasalahan yang dihadapi warganya. Balai ini pun berfungsi sebagai tempat menerima tamu.
Artikel Terkait
Pandemi, Kampung Naga Batasi Jumlah Kunjungan
Menelisik Kesederhanaan Warga Kampung Naga Tasikmalaya
Kampung Naga, Tempat Wisata yang Tidak Biasa
Memuliakan Air di Kampung Naga