AYOBANDUNG.COM -- Dalam surat kabar Matahari edisi Januari 1923 dikabarkan bahwa Sarekat Islam Bandung dilarang untuk ikut campur dalam urusan masjid. Hal ini bermula dari tuduhan yang dilancarkan oleh Kaoem Moeda dengan mengatasnamakan Comite Masigit. Dari kejadian ini SI Bandung lalu merencanakan pertemuan untuk membicarakan perkaranya itu karena dinilai menyudutkan kelompoknya. Sehingga pada tanggal 8 Januari 1923, terbentuklah tujuh Deputi Rakyat yang diisi oleh Atmadinata dari Pasundan, Moh. Sanoesi dan Goenawan utusan SI Bandung, Oto Iskandar di Nata dari Budi Utomo dan Tjiptomangoenkoesoemo sebagai pemimpin Deputi. Pertemuan ini dihadiri oleh Regent Bandung selaku pejabat setempat dan juga sebagai pihak yang dapat menampung masalah.
Sebelum berlangsung pada pembicaraan inti, mereka menjelaskan berbagai aturan dalam memakmurkan masjid. Mula-mula, Tjipto menerangkan soal air suci yang harus mengalir. Dilanjutkan oleh Regent Bandung terkait penutupan serambi dan pelarangan reklame. Hal ini penting untuk dibicarakan, karena berhubungan dengan akar persoalan yang akan dimusyawarahkan berikutnya. Mereka saling mengutarakan pendapat dan saling menanggapi satu sama lain, tanpa menunjukkan sikap buruk dari masing-masing pihak. Sebagaimana ditunjukkan Tjipto dengan Regent Bandung mengenai pembicaraan air wudu.
“Toean Dr. Tjipto mempertoendjoekan kekotorannja air jang disediakan boeat orang banjak berwoeloe. Beliau sebagai deskundinge (ahli) berpendapatan, bahwa air begitoe matjam itoe amat berbahaja boeat kesehatannja orang banjak, djadi masih djaoeh dari soetji. Toean Regent mendjawab: Seperti jang soedah dikatakan Toean Tjipto, itoe betoel sekali. Tapi kalau kita perbandingkan keadaan sekarang dan doeloe, sekarang itoe lebih baik. Doeloe air boeat berwoeloe itoe, air selokan sadja jang soedah tentoe kotornja. Sekarang air itoe air soemoer bor…” (Matahari no.1 tahun kedua).
Setelah pembicaraan itu selesai, perwakilan SI Bandung mengutarakan pendapat selanjutnya, terutama tentang tulisan yang menyeret kelompok Sarekat Islam Bandung. Nama Comite Masjid disebut-disebut sebagai penulis, meskipun beberapa saat kemudian tulisan itu dicabut oleh rengrengan Padmawiganda sebagai kelompok yang menyebarkan tuduhan. Tak ada keterangan secara jelas apa penyebab tulisan itu dibuat. Namun, hal ini bisa menimbulkan ketegangan dan merusak hubungan di antara sesama kaum Muslimin, karena menyudutkan satu kelompok tanpa dasar yang jelas.
“Dalam soerat kabar ini (Kaoem Moeda) dalam boelan jang soedah laloe, ada doea boeah karangan jang ditandai oleh Comite Mesdjid dan lid Comite Mesdjid jang mengatakan, bahwa SI tak patoet dan ta’ berhak bertjampoer dalam hal atoeran mesdjid. Sebab karangan jang tida sehat ini berbahaja boeat keroekoenan kaoem Moeslimin” (Matahari no.1 Januari 1923).
Sebagai bagian dari SI Bandung, awalnya, Moh. Sanoesi menyangka bahwa Bupati Bandung telah merencanakan tulisan bermasalah itu. Tapi, dugaan tersebut tidak dapat dipastikan, lalu disanggah secara langsung oleh Wiranatakoesoemah. Menurutnya, larangan itu salah kaprah, karena siapapun berhak untuk menjaga dan membersihkan masjid. Apalagi, Bupati Bandung tidak tahu sedikitpun dengan karangan itu. Meskipun ia sempat membacanya sebelum karangan itu dicabut oleh Kaoem Moeda. Sebagaimana yang ia nyatakan:
“Saja sama sekali tida toeroet tjampoer, taoepoen tida. Saja baroe taoe tentang karangan itoe setelah saja batja Kaoem Moeda. Dan lagi saja dapat mengatakan bahwa sama sekali tida setoedjoe dengan seperti jang tertoelis dalam Kaoem Moeda itoe. Menoeroet pendapatan saja, itoe perkataan salah sama sekali, sebab semoea orang berhak toeroet tjampoer membitjarakan keperloean mesdjid” (Matahari no.1 tahun kedua).
Sementara proses klarifikasi masih berjalan, deputi rakyat menulis surat pernyataan kepada Penghulu Bandung, H.M. Roesdi. Dalam surat itu, perwakilan deputi Tjipto dan Moh. Sanoesi mempertanyakan dua soal yang berhubungan dengan pembicaraan ini. Pertama, menanyakan keterlibatan Comite Masigit yang menulis surat kepada Kaoem Moeda. Yang kedua, tanggapan Penghulu Bandung terkait tulisan bermasalah itu.
Setelah pertanyaan itu dibuat, muncullah jawaban dari pihak Penghulu. Dua pertanyaan yang telah diajukan, kemudian ditanggapi oleh H.M. Roesdi. Jawaban Roesdi ternyata bertolak belakang dengan tulisan yang dimuat Kaoem Moeda. berdasarkan pengakuan Roesdi, dirinya tidak melayangkan larangan terhadap rengrengan Sanoesi untuk menjaga atau merawat masjid di manapun. Akhirnya, dugaan itu langsung mengarah pada Padmawiganda sebagai redaktur koran Kaoem Moeda. Tulisan tersebut seolah menjadi pemicu kelompok merah untuk merespon fitnah yang dilakukan Padmawiganda. Melalui Matahari, mereka menyerang Padmawiganda yang dianggap sebagai antek-antek P.E.B.: organisasi bentukan pemerintah Belanda untuk memonitoring pergerakan rakyat pribumi. Menurutnya:
“Tahoekah sekarang pembatja? Rajat Hindia? Publiek Bandoeng? Akan tjapnja, graadnja journalis P.E.B. toean Mas Atje Padmawiganda? Comite mesigit menoelis, begitoe katanja toekang memoetar lidah Mas Atje Padmawiganda. Tetapi bukan sadja Toean Regent Bandoeng soedah memoengkiri hal itoe, ertinja sama sekali tida taoe akan adanja itoe toelisan, poen Voorzitternja sendiri dari itoe Comite soedah moengkir keras. Sekarang terbukalah kedok Padmawiganda! Sekarang ketahoeanlah main komedi Padmawiganda! Sekarang terlihatlah itoe orangnja Padmawiganda! Padmawiganda redacteur Kaoem Moeda, selompret P.E.B. sekarang terboekalah rahasianja!” (Matahari no.1 Januari 1923).
Kisruh SI Bandung dengan Padmawiganda bukan kali ini saja. Dalam beberapa edisi, Matahari menayangkan kekesalannya terhadap redaktur Kaoem Moeda itu. Namun, masalah pelarang ini tentu sangat tidak bijak. Koran besutan Abdoel Moeis tersebut tampaknya harus menerima serangan berkali-kali dari kelompok merah. Bukan diawali oleh perkara ini saja. Tetapi, ada serangan lain yang ditujukan oleh Padmawiganda terhadap S. Goenawan. Sehingga dari kejadian itu, keduanya menyebabkan polemik berkepanjangan, seperti halnya polemik kaum merah dengan kelompok Wiranatakoesoemah.