Oleh Alfiyyah Humairah
PADA KEMERDEKAAN Indonesia yang ke-100 tahun tepatnya tahun 2045, Indonesia ditargetkan akan mengalami masa keemasan, yaitu masa di mana negeri ini sudah menjadi negara yang maju. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan persiapan yang matang terutama dalam mempersiapkan SDM yang cerdas dan unggul secara global.
Pada tahun 2045 yang akan memimpin bangsa kita yaitu pada usia produktif (15-64 tahun) yang artinya untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas harus dipersiapkan mulai dari saat ini. Ancaman yang selalu ada dalam mencapai kualitas SDM yang unggul adalah masih banyaknya anak pendek akibat gizi buruk atau dinamakan dengan stunting.
Lantas, apa penyebab utama dari permasalahan stunting di Indonesia ini? Kemiskinan merupakan persoalan utama penyebab anak Indonesia mengalami stunting. Indonesia termasuk 100 negara paling miskin di dunia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2022 adalah 26,16 juta jiwa menurun 0,6% dari tahun sebelumnya.
Namun, tetap lebih banyak dibandingkan sebelum covid 19 mewabah. Tingkat sosial ekonomi tiap keluarga akan mempengaruhi kecukupan kebutuhan zat gizi setiap anak terutama pada masa pertumbuhan. Keadaan sosial ekonomi mempengaruhi bagaimana pemilihan macam makanan yang dikonsumsi setiap keluarga.
Keluarga yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas pastinya memiliki akses pangan yang lebih mudah. Status sosial ekonomi yang rendah juga mempengaruhi pada pola asus setiap anak, seringnya menderita penyakit karena higiene maupun sanitasi yang kurang baik, ketidaktahuan mengenai gizi, dan kebiasaan hidup yang cenderung tidak sehat.
Kesadaran para orang tua merupakan faktor lain mengapa anak dapat mengalami stunting. Menurut data BPS tahun 2021, konsumsi rokok dan tembakau menduduki posisi tertinggi kedua pengeluaran rumah tangga yaitu sebesar Rp76.583 per kapita per bulan yang bahkan mengalahkan padi-padian dan sayur-sayuran.
Dapat disimpulkan dari data tersebut kurangnya kesadaran masyarakat terutama masyarakat miskin karena pembelian rokok lebih banyak memakan pengeluaran rumah tangga dibandingkan konsumsi pada padi dan sayur.
Menurut data Kemenkes pada tahun 2021 terjadi peningkatan perokok aktif sebanyak 8,8 juta orang hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Tingginya konsumsi rokok mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan lain seperti makanan bergizi yang dibutuhkan keluarga, terutama pada anak-anak.
Persoalan rokok yang terus meningkat memerlukan perlu adanya kesadaran masyarakat itu sendiri, apalagi untuk masyarakat miskin harga bahan pokok semakin naik yang belum tentu pendapatan sebanding dengan kebutuhan yang digunakan sehari-hari.
stunting dapat menghambat tumbuh kembang dan kecerdasan pada anak. Angka prevalensi stunting Indonesia pada 2021 masih sebesar 24,4 persen sedangkan standar WHO adalah 20 persen, sehingga Indonesia masuk kategori masalah stunting yang tinggi.
Artikel Terkait
Cegah Angka Stunting yang Sudah Terlanjur Tinggi, Pemerintah Bagikan BPSP ke Ratusan Warga Paseh
Pola Makan Calon Ibu Penyebab Terbesar Stunting di Kota Bandung
Tingginya Angka Stunting di Kota Bandung: Masalah Sanitasi, Gizi dan Lingkungan jadi Penyebab Utama
Sosialisasi Program Pencegahan Stunting untuk Emak-Emak di Bandung Barat Dilakukan Mak Ganjar