Imlek: Merawat Kebhinekaan, Meneguhkan Keindonesiaan

- Senin, 23 Januari 2023 | 18:20 WIB
Imlek 2023. (freepik.com/pikisuperstar)
Imlek 2023. (freepik.com/pikisuperstar)

Oleh IBN GHIFARIE*

SEJATINYA kehadiran tahun baru Imlek 2574 Kongzili yang jatuh pada tanggal 22 Januari 2023 ini menjadi momentum yang tepat untuk menata ulang sikap keberagamaan, Kebhinekaan, kebangsaan sekaligus membangkitkan rasa kebanggaan terhadap keutuhan Indonesia yang mulai memudar pada saat mencari pemimpin yang pluralis, toleran, rukun, damai dan mencintai keragaman suku, agama.

Mengingat Indonesia itu mozaik yang indah. Perbedaan suku (Jawa, Sunda, Minang, Dayak, Bugis); agama dan keyakinan (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu) itu menyatu sebagai modal utama untuk terus berinteraksi antarumat, bukan malah menjadi pemicu konflik, justru ikut andil dalam membangun solidaritas lintas agama yang kuat sesuai dengan prinsip masing-masing. "Keindonesian" mewarnai kehidupan semua agama di bumi Nusantara ini.

Dengan berbhineka, kemauan untuk berbaur, bertenggang rasa dan cinta budaya bangsa menjadi akar bersatunya segala perbedaan (ras, agama, golongan) yang membuahkan mozaik yang indah. (Zaim Uchrowi, 2012:93-94 & 97)

Baca Juga: 5 Bacaan Dzikir Bulan Rajab 2023 dari Tanggal 1 sampai 10 Rajab 1444 H Sesuai Ajaran Rasulullah SAW

Makna Imlek

Bagi masyarakat etnis Tionghoa, peringatan dan perayaan Imlek ibarat menjadi semacam bel pengingat (lonceng kesadaran). Pasalnya, etnis Tionghoa serasa terpanggil, diingatkan, dan disadarkan untuk melakukan evaluasi dan refleksi diri atas peziarahan perjalanan hidupnya; baik kehidupannya secara pribadi, maupun secara komunal dalam relasinya dengan sesama, lingkungan, dan Tuhan.

Imlek merupakan saat yang tepat untuk mengakui adanya kekurangan dan kelemahan diri di masa-masa silam. Saatnya untuk bangkit, dan menemukan resolusi guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan di masa-masa mendatang.

Dalam konteks kesempatan memperingati dan merayakan Imlek merupakan momentum yang tepat untuk kembali mengingat, memaknai, dan menghidupi nilai-nilai (karakter) luhur dan semangat pluralisme yang terkandung di dalamnya, sebagai bagian dari unsur perekat kehidupan berbangsa yang bhinneka.

Bila tak diwaspadai, maka nilai-nilai luhur tersebut akan rawan terancam luntur terkikis oleh fenomena gaya hidup yang hedonis dan konsumeris; gaya hidup yang hanya berorientasi pada kesenangan   sesaat. Sungguh akan teramat sangat menyedihkan dan mengenaskan apabila perayaan Imlek yang sejatinya sarat akan nilai dan makna yang luhur, justru ter(di)reduksi dengan diidentikkan hanya sebatas pada gebyar festival, ajang pameran busana, kembang api, lampion, dan angpao.

Baca Juga: CEK FAKTA: Kuat Ma'ruf Lucuti Pakaian Putri Candrawati? Istri Ferdy Sambo Banyak Lupanya!

lmlek merupakan momentum yang tepat untuk mengedukasi (mendidik) masyarakat dan bangsa Indonesia perihal nilai-nilai luhur kebangsaan agar nilai-nilai tersebut semakin mengakar, tertanam kuat, dan tumbuh menjadi karakter; yang nantinya boleh berbuah nyata dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Thio Hok Lay, 2020:169)

Meskipun sentimen anti-Tionghoa pun terus menguat yang seakan-akan menegaskan keberadaan minoritas Tionghoa ini sering dianggap sebagai kelompok etnis yang hanya berkecimpung di bidang ekonomi, sehingga kurang mendapatkan perhatian orang terhadap aktivitas mereka pada bidang politik, sastra, pers dan kebudayaan.    

Jejak Tionghoa

Padahal keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara Indonesia sudah tak diragukan lagi. Menurut Th. Sumartana dalam percaturan ideologi, agama, ekonomi internasional, memiliki kekuatan yang diwakili oleh Konfusianisme ini juga berkiprah pada kehidupan nasional Indonesia.

Dalam rangkaian semacam inilah, maka keberadaan etnis Tiongkok sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia tak bisa dibantahkan lagi. Mengingat golongan etnis Tionghoa ini harus pula diakui hak-haknya dalam memelihara dan menghidupi warisan budaya serta kehidupan kerohaniaan mereka. Sebab itu tidak mungkin untuk mengecilkan (menganggap) seolah-olah tidak memahami kenyataan ini. (Th Sumartana, dkk, 1995:xvi)

Ingat, bangsa Indonesia dalam kesejarahannya berkaitan erat dengan keberadaan kelompok Tionghoa, baik pada masa kerajaan, penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, maupun pada masa pasca Reformasi.

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Buka Bersama Pejabat Pemerintah, Mengapa Dilarang?

Kamis, 30 Maret 2023 | 15:35 WIB

Mengganti Nama Geografi Kecongkakan Kehendak Pusat

Kamis, 30 Maret 2023 | 13:43 WIB

Selama Ramadhan, Jangan Lupa IBIS

Selasa, 28 Maret 2023 | 14:00 WIB

Wijkmeester Pecinan Suniaraja dan Citepus

Minggu, 26 Maret 2023 | 11:30 WIB

Respek dalam Berkomunikasi

Jumat, 24 Maret 2023 | 11:11 WIB

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB
X