Tahun 1845 Baru Ada 13 Orang Tionghoa di Bandung

- Sabtu, 21 Januari 2023 | 15:02 WIB
Foto 01. Jumlah penduduk Tionghoa di Bandung antara 1890-1896. Sumber: De Preanger-bode, 24 Maret 1898.
Foto 01. Jumlah penduduk Tionghoa di Bandung antara 1890-1896. Sumber: De Preanger-bode, 24 Maret 1898.



Oleh ATEP KURNIA*

BAGAIMANA asal-usul kehadiran komunitas Tionghoa di Bandung? Dan bagaimana perkembangan populasinya? Untuk menjawabnya, kita bisa bersandar pada pustaka primer dan sekunder yang membahasnya.

Pustaka primer yang saya maksudkan antara lain Staat der Nederlandsche Oostindische bezittingen, Bijlagen, Organique Stukken, Prepatoire Mesures No. 31 (1814) karya H.W. Daendels, The History of Java (1817, 1830) karya T.S. Raffles, dua tulisan Pieter Bleeker tentang statistika penduduk Pulau Jawa yaitu “Bijdragen tot de Statistiek der Bevolking van Java” (dalam TNI, Vol IX, 2, 1847) dan “Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Java” (dalam BKI, Vol. 16, 1869), empat jilid buku Priangan: de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811 (1910-1912) karya F. De  Haan. Termasuk keterangan-keterangan yang tercecer dari koran-koran lama.

Sementara yang termasuk pustaka sekunder antara lain Perubahan Sosial di Bandung, 1810-1906 (2002) karya A. Sobana Hardjasaputra, Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 (2007) karya James R. Rush, “Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung” (Jurnal Sosioteknologi Edisi 26 Tahun 11, Agustus 2012) oleh Sugiri Kustedja, Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits From an Unfree Work Regime in Colonial Java (2015) karya Jan Breman, dan “Jejak Leluhur dari Fu Jian sampai ke Tanah Parahyangan” karya Tan Soey Beng (Jurnal Sosioteknologi, Vol. 14, No 3, Desember 2015).

Priangan sebagai Daerah Tertutup

Dari pustaka-pustaka yang saya akses, dapat diketahui dengan diberlakukannya Preangerstelsel atau Sistem Priangan untuk budidaya tanam paksa kopi oleh VOC, Priangan ditetapkan sebagai daerah tertutup bagi para pendatang dari luar Priangan. De Haan (Vol. I, 1910: 390) menyatakan yang terlarang masuk itu khususnya orang Tionghoa.

Di masa VOC, orang saudagar Tionghoa bertindak sebagai pihak perantara antara VOC dengan masyarakat lokal. Mereka akan membeli kopi, tetapi juga bertindak sebagai agen para tuan tanah Eropa yang tinggal di dekat Batavia atau bagi para pejabat VOC sendiri.

Jadi menurut Breman (2015), dengan kebijakan menutup akses masuk bagi pendatang luar itu menyebabkan di Priangan sangat sedikit terjadinya transaksi dagang bila dibandingkan dengan daerah lainnya dengan VOC serta dapat menerangkan mengapa hampir tidak ada pasar di Priangan.

Baca Juga: Ridwan Kamil Diusung Gerindra, Nasdem, hingga Pilih jadi Kader Golkar, Pengamat: Gaya Politik Pragmatis

Daerah Priangan agak mulai dilonggarkan saat berada di bawah Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Gubernur jenderal ini menganggap bahwa promosi agroindustri oleh pihak swasta sebagai jalan efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Priangan. Sehingga di masa pemerintahan Daendels mulai banyak lahan yang dijual kepada pihak swasta, untuk dijadikan sebagai perkebunan tebu, kapas, nila, dan lain-lain (Daendels, 1814: 111, dalam Breman). Namun, untuk lahan kopi di Priangan, Daendels tidak membolehkannya untuk dijual.

Daendels juga berinisiatif untuk memasukkan orang Tionghoa ke Priangan. Ia menerbitkan besluit tanggal 9 Juni 1810 mengenai pembentukan kampung khusus Tionghoa (Chineesche kamp) atau pecinan, bersamaan di keresidenan Priangan (Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, Sukapura, Limbangan, dan Galuh).

Tujuannya untuk memberdayakan tanah-tanah kosong yang tidak bisa ditanami kopi dan padi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggiatkan perdagangan, sebagai agen. Dengan kata lain, Daendels mengizinkan orang Tionghoa untuk tinggal di ibukota kabupaten.

Di masa kekuasaan Inggris yang singkat (1811-1816), orang Tionghoa, Melayu, dan bumiputra lain yang bukan penduduk Priangan tidak diperbolehkan masuk. De Haan (Vol. IV, 1912: 876) mencatatnya sebagai berikut: “Orang Tionghoa, Melayu, atau bumiputra lain, yang bukan penghuni Keresidenan [Priangan], tidak diizinkan untuk menggunakan jalan raya yang menuju dari satu ibu kota negeri ke ibu kota negeri lainnya, dan bila ketahuan ada di kampung-kampung, mereka akan segera ditawan dan dikirim ke Bogor. Orang Tionghoa, Melayu, dan bumiputra lainnya, yang bukan penghuni Keresidenan [Priangan], bila ketemu tanpa surat jalan, akan segera ditahan”.

Baca Juga: Kumpulan Ucapan Selamat Imlek dalam Bahasa Mandarin yang Pantas Dikirim untuk Bos atau Atasan

Ketika beralih ke pemerintah kolonial Hindia Belanda, kebijakan tersebut tidak berubah. Pada 9 Januari 1821, Gubernur Jenderal Van der Capellen kembali menjadikan Priangan sebagai daerah tertutup bagi kalangan Eropa dan Timur Asing. Saat itu Van der Capellen menerbitkan aturan yang disebut Passenstelsel, yaitu bagi orang asing yang hendak bepergian diharuskan mempunyai surat keterangan pas jalan yang disahkan penguasa setempat.

Apabila melanggar atau lupa membawa surat keterangan tersebut akan didenda. Tentu saja maksud di balik aturan tersebut adalah upaya pemerintah kolonial untuk melindungi bisnis kopinya di Priangan.

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Respek dalam Berkomunikasi

Jumat, 24 Maret 2023 | 11:11 WIB

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB

Situ Lembang Danau Kaldera Gunung Sunda

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:50 WIB

Bahagiakan Dirimu dengan Membahagiakan Orang Lain

Kamis, 16 Maret 2023 | 14:55 WIB

Demi Sebuah Konten, Agama pun Digadaikan

Senin, 13 Maret 2023 | 15:32 WIB
X