AYOBANDUNG.COM -- Dalam pendapat umum kita sering mendengar bahwa keluarga miskin akan melahirkan generasi yang tak kalah miskinnya. Secara empirik saya rasa jawaban itu benar. Sebagaimana dijelaskan disiplin ilmu sosial; kemiskinan selalu satu titik garis lurus dengan rendahnya pendidikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan jika di suatu daerah penduduknya hidup dalam garis kemiskinan, maka bisa dipastikan pendidikan di wilayah tersebut terabaikan. Tentu kita bisa berdalih, bahwa pendidikan bukan faktor tunggal penyebab terjadinya kemiskinan. Ada faktor ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang juga tidak bisa disampingkan. Akan tetapi, kita sulit untuk mengelak karena hanya pendidikan jawaban rasional yang bisa kita terima untuk memutus rantai kemiskinan.
Salah satu penyebab utama tingginya angka kemiskinan di Indonesia ialah eksistensianya masyarakat struktural (masyarakat yang sukar merubah hidupnya melalui pendidikan). Tentu kita bisa memahami kuatnya pengaruh 'local wisdom' yang merangkeng alam pikir masyarakat struktural (tradisional). Seperti ada anggapan jika banyak anak akan mendatangkan banyak rezeki; Hidup perempuan pada akhirnya di dapur dan di ranjang; Orang tua lebih memilih anaknya membantu pekerjaannya daripada harus sekolah. Hal semacam itulah yang masih kita jumpai di masyarakat struktural khususnya di daerah perdesaan.
Polarisasi kemiskinan
Pertanyaannya, bagaimana polarisasi kemiskinan bekerja? Selama ini dalam pandangan masyarakat struktural menganggap kemiskinan adalah nasib (takdir). Jawaban yang beredar luas mengepung masyarakat struktural semacam itu bagi saya ialah suatu pola pikir irasional (cognitive bias).
Coba kita renungkan ulang, ada seorang yang bekerja puluhan tahun lamanya sebagai tukang becak. Selama itu pula ia menjalani hidup dalam keadaan miskin. Apakah ia mencintai pekerjaan itu yang dipercayainya sebagai takdir? Jika saya diminta untuk memberikan jawaban rasional, maka jelas orang tersebut tidak punya pilihan karena ketiadaan akses dan 'keterbatasan' pendidikan (sebagaimana kebutuhan kehidupan modern yang mengutamakan legitimasi ijazah sekolah karena mencakup keterampilan di dalamnya).
Tanpa disadari problematika rantai kemiskinan yang menjerat masyarakat bekerja secara terstruktur. Artinya ada suatu keadaan ketika seseorang tidak bisa melepaskan diri dari jerat kemiskinan seumur hidupnya. Misalnya begini; ada seorang anak dari keluarga miskin yang putus sekolah, maka si anak akan memilih bekerja, kemudian menikah tanpa kematangan mental dan persiapan materil. Yang terjadi kelak ia akan melahirkan generasi yang tidak akan jauh dari nasib dirinya: miskin.
Pada kasus lain yang tak kalah kompleksnya saya ilustrasikan begini; ada dua keluarga yang satu kaya dan lainnya miskin. Dua keluarga itu sama-sama menyekolahkan anaknya. Si anak dari dua keluarga tersebut sama-sama punya potensi secara akademik di sekolahnya. Namun, dalam 10 tahun ke depan si anak dari dua keluarga yang berbeda tersebut sama-sama akan menjalani warisan polarisasi hidup orangtuanya; yang satu hidup sebagai orang kaya dan satunya lagi harus menjalani hidup dalam lingkaran kemiskinan.
Sebab, dalam berbagai riset ditemukan, jika genetika dari keluarga kaya mempunyai kemampuan untuk menunjang pendidikan dan kehidupan anaknya; mewajibkan ikut kursus, pola makan sehat, dan mempunyai 'jaringan sosial' luas yang memberinya kemudahan akses untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Sebaliknya, si anak dari keluarga miskin tidak mempunyai banyak kemampuan untuk menunjang pendidikan dan kehidupannya. Serta minimnya akses 'jaringan sosial' untuk dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Hal itu juga yang menjadi 'catatan' Nicolaus Driyarkara: disintegrasi. Setiap perubahan sosial (disintegrasi) dengan sendirinya mengakibatkan seribu persoalan dalam pendidikan.
kritik terhadap pendidikan
Persoalan lain yang perlu dipertanyakan ulang ialah sistem pendidikan seperti apa yang kita punyai sehingga gagal mengangkat harkat manusia untuk hidup lebih baik?
Pendidikan kita (Indonesia) masih jauh dari ide system thinking dan keluwesan proses belajar nonkognitif. Peserta anak didik selalu diarahkan dalam memandang dunia secara positivistik yang mandek pada sistem pembelajaran kognitif semata.
Selama ini sekolah sebagai lembaga otoritas yang dipercaya masyarakat dapat merubah nasib manusia seringkali alpa dari koreksi kritik. Tidak adanya monitoring yang mapan dalam pendidikan menyebabkan tertundanya cita-cita mengentaskan kemiskinan.
Saya pikir tidak perlu alergi untuk mengikuti role model pendidikan 'Barat' yang lebih luwes pada aspek nonkognitif (menyiapkan peserta anak didik dengan mengolah keterampilan untuk mengatasi suatu masalah dan menguji konsistensi dalam menghadapi berbagai tekanan). Karena peserta anak didik bukanlah robot yang bekerja secara mekanik. Itulah yang terjadi dalam sistem pendidikan kita yang kaku. Padahal, menurut Nicolaus Driyarkara, bahwa pendidikan merupakan proses kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia (hominisasi dan humanisasi).
Perlu menjadi peremenungan bersama mengingat pentingnya (mutu) pendidikan sebagai titik tolak kemajuan sebuah bangsa. Dengan kata lain, pendidikan ialah investasi (tabur-tuai) dalam proyeksi jangka panjang yang harus terus menerus dirawat (upgrade). Seperti yang dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya 'Identity of Violence'. Menurutnya, keterbelakangan ekonomi tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengaruh 'budaya'. Ada peran pendidikan dan politik yang mempunyai pengaruh besar.