Akhirnya, penulis artikel menyatakan bisa jadi jawaban pemerintah membuat jelas duduk perkaranya. Padahal, sebenarnya, membuat masalahnya kian tidak dapat dimengerti (“Tapi saenjana matak nambah-nambah henteu kahartina”). Sebab pemecatan Ali Hasan dalam pemilihan dilakukan oleh musuhnya. Kedua, bila kelakuannya semula buruk mengapa sejak dulu tidak dipecat. Ketiga, mengapa yang dianggap tidak dapat dipercaya bisa menjadi calon kepala desa.
Selain itu, penulis mengajak agar meneliti kembali sebab-sebab lain barangkali ada alasan lain yang tersembunyi. Yang terang, hingga saat itu, pelaku pelemparan atap rumah di Cikancung belum tertangkap dan warga Cikancung masih belum puas terhadap hasil pemilihan kepala desa yang baru.
Setelah dua tahun berlalu, peristiwa di Cikancung agaknya sudah mereda. Namun, ternyata menyimpan bara dalam sekam. Karena pada 28 Januari 1935 terjadi lagi “hujan batu” di Cikancung. Sebanyak 20 genting rumah Noerkapi rusak, demikian pula 35 genting rumah Mardi dan 60 genting rumah Sadnai. Kabar angin menyebutkan “Eta mah noe imahna dibaledogan koe batoe, bongan tamahana sorangan, henteu noeroet ka noe djadi kokolot desa” (Rumah-rumah yang dihujani batu karena celaka sendiri, karena tidak menurut terhadap para pemuka desa).
Konon, setelah pemilihan kepala desa 1932, warga Cikancung sebagian besar tetap membayar pajak negara, tetapi tidak mau membayar segala iuran ke desa, sebab masih ada pertaliannya dengan zaman pemilihan kepala desa (“Tjek bedja mah, sabagian gede rahajat Tjikantjoeng teh, satoehoe kana majar padjeg ka nagara, tapi henteu daraek majar sagala oedoenan ka desa, da aja pakaitna djeung djaman pilihan loerah tea”).
Oleh karena itu, dalam tulisan “Hoedjan Batoe: Aja naon di Desa Tjikantjoeng?” (Sipatahoenan, 1 Februari 1935), penulis menyatakan bila betul ada bara dalam sekam di Cikancung, pihak berwajib seharusnya melindungi ketentraman dengan menyelidiki akar permasalahannya, baik terkait dengan urusan pemerintahan maupun urusan tanah.
Keesokan harinya, Sipatahoenan (2 Februari 1935) menurunkan tulisan karya A.N. dengan judul sama. Menyimak perkembangan yang terjadi di Cikancung, A.N. menyatakan dua sebab pelemparan batu ke beberapa rumah itu. Sebab pertama, “persoonlijke veerte (moemoesoehan antara noe boga dosa reudjeung noe dibaledogna” (permusuhan antara pelaku dengan korban pelemparan batu) dan sebab kedua, “boentoetna pilihan loerah anoe ajeuna” (buntut pilihan lurah saat sekarang).
Dari tulisan tersebut, saya mendapatkan keterangan bahwa pada kejadian tahun 1932 itu janji bupati yang hendak menindaklanjuti kasus tersebut, bahkan datang ke Cikancung. Namun, nampaknya tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya (“Bedjana mah bareto teh koengsi disoempingan koengsi menak sagala ka Tjikantjoeng teh: toemali djeung bedja-bedja anoe njebar. Pirakoe nepikeun ka henteu ngajakaeun pamariksaan anoe saenjana mah”).
*Atep Kurnia, peminat literasi dan budaya Sunda.
Foto 02. Warga Cikancung berbondong-bondong ke Bandung untuk berdemonstrasi kepada bupati. Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23 Agustus 1932.
Foto 03. Melalui Volksraad, R. Oto Iskandar di Nata mengajukan interpelasi pada 2 Juni 1932 kepada pemerintah terpaut kasus pemilihan kepala desa Cikancung. Sumber: De Indische Courant, 6 September 1932.
Foto 04. Pada 28 Januari 1935 terjadi lagi pelemparan batu terhadap beberapa atap rumah warga Desa Cikancung, ditengarai buntut pemilihan kepala desa tahun 1932. Sumber: Sipatahoenan, 1 Februari 1935.
Artikel Terkait
Enam Fakta Oto Iskandar Di Nata yang Tersembunyi
Oto Iskandar di Nata: Karakter, Nama Asli, dan Peran dalam Kemerdekaan