SEDIKIT pun saya tidak menyangka Cikancung pernah menjadi berita hangat tahun 1932. Padahal kejadiannya “hanya” berkisar di sekitar pemilihan kepala desa atau lurah. Namun, karena pemilihannya dilakukan berulang-ulang, diikuti protes dan demonstrasi kepada wedana Cicalengka dan bupati Bandung, akhirnya peristiwa tersebut membesar. Bahkan akhirnya R. Oto Iskandar di Nata mengajukan interpelasi kepada pemerintah Hindia Belanda melalui dewan rakyat (Volksraad).
Saat itu, Cikancung diliput secara nasional, karena jejak-jejaknya saya temukan dari koran-koran berbahasa Belanda, terbitan Bandung, Batavia, Semarang, bahkan Belanda. Namun, yang rinci sudah pasti koran Sunda terbitan Bandung, Sipatahoenan. Koran tersebut secara intensif memuat berita dan artikel terpaut pemilihan kepala desa di Cikancung itu.
Dengan demikian, dalam tulisan ini, saya akan menyatukan fakta dari berbagai guntingan koran Belanda dan Sipatahoenan. Dari Sipatahoenan edisi 17 Mei 1932, pertama-tama saya menemukan berita bertajuk “Goedjroed dina Pilihan Loerah” (geger dalam pemilihan kepala desa). Di sana disebutkan pada 20 Maret 1932, Kepala Desa Cikancung Hadji Abdoel Gani alias Martadiredja mengundurkan diri secara terhormat.
Baca Juga: Istri Korban Penyiraman Air Keras di KBB Ternyata Kerap Jadi Sasaran KDRT
Seminggu setelah itu, pada 29 Maret 1932, di Cikancung diselenggarakan pemilihan kepala desa. Saat itu calonnya ada dua orang, yaitu Juru Tulis Wiriasasmita dan Lebe Ali Hasan. Jumlah semua pemilih 471 orang, tetapi yang datang hanya 331 orang.
Setelah pemilihan, Wiriasasmita mendapatkan 145 suara dan Ali Hasan mendapatkan 186 suara. Namun, oleh komisi pemilihan kepala desa, Ali Hasan dibatalkan sebagai kepala desa.
Setelah peristiwa itu, pada 31 Maret 1932, atap rumah Nji Etjon di Cinangka, H. Djenal di Cinangka, Ibrahim di Cikancung, Saltasik di Cikancung, dan Madhali di Cikamuning dilempari batu. Mereka dikenal sebagai pemilih Ali Hasan. Saat itu diduga pelakunya pihak pemilih Wiriasasmita dan kejadiannya dilaporkan kepada penjabat kepala desa Cikancung, yang dijabat oleh juru tulis atau dengan kata lain Wiriasasmita.
Warga yang tidak puas, kemudian mengirimkan surat kepada bupati Bandung. Karena mereka mendengar bahwa kepala desa yang diangkat adalah juru tulis, bahkan mereka meminta untuk diselenggarakan pemilihan kembali.
Di sisi lain, camat Cicalengka dan mantri polisi memeriksa rumah-rumah yang diserang orang. Para pemilik rumah menyatakan bahwa mereka merasa tidak mempunyai musuh dan merasa tidak punya dosa, kecuali tidak memilih Wiriasasmita. Namun, setelah diselidiki, pelaku perusakan belum ditemukan.
Artikel Terkait
Enam Fakta Oto Iskandar Di Nata yang Tersembunyi
Oto Iskandar di Nata: Karakter, Nama Asli, dan Peran dalam Kemerdekaan