Gunung Papandayan: Kawah Cinta Calon Tsar Rusia hingga Putra Mahkota Kerajaan Austria-Hongaria

- Jumat, 5 Agustus 2022 | 16:03 WIB
Kawah Gunung Papandayan sekitar tahun 1900. (Foto koleksi KITLV 82583)
Kawah Gunung Papandayan sekitar tahun 1900. (Foto koleksi KITLV 82583)

Pangeran Ferdinand, tampak mencintai Gunung Papandayan. Sama seperti Pangeran Nicholas sang pewaris takhta Kerajaan Rusia.

Dikutip dari Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1843 atau Majalah untuk Hindia Belanda, yang mengutip catatan perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn, di Jawa tentang Gunung Papandayan, diketahui bahwa Gunung Papandayan pernah mengalami erupsi yang sangat dahsyat pada tahun 1772.

Erupsi yang terjadi pada bulan Agustus 1772, tersebut dikatakan sebagai letusan terkuat yang tak pernah terbayangkan.

Menurut Junghuhn letusan tersebut terjadi pada malam hari antara tanggal 11 dan 12 Agustus 1772. Peristiwa tersebut terdengar bagai guntur yang memecah keheningan malam, seperti suara retakan yang mengerikan. Nyala pijar api dari puncak gunung tampak terang benderang. Ujung kerucut gunung yang terlempar kemudian memecahkan pecahannya ke udara.

Menurut laporan resmi, akibat peristiwa tersebut 40 desa yang terletak di kaki Gunung Papandayan dalam waktu sekejap tertimpa oleh material panas yang dimuntahkan gunung tersebut. Letusan gunung tersebut menyebabkan 2957 orang berikut peliharaan mereka terkubur di kampung halamannya sendiri. Penduduk yang tinggal di desa-desa terpencil, lari tunggang-langgang. Suara teriakan mereka tenggelam oleh riuhnya suara amukan Papandayan.

Keesokan harinya 40 orang penduduk diketahui selamat karena berlindung di kebun pisang. Mereka tercengang menyaksikan bentuk kerucut puncak gunung sudah hilang, berganti dengan celah menganga yang menghembuskan uap panas kehancuran. Mereka dulu tak pernah tahu bahwa Papandayan adalah sebuah gunung berapi.

Banyak arsip Belanda yang melaporkan tentang kejadian tersebut. Salah satunya Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java, 1817, juga membahas tentang peristiwa besar tersebut. Dikatakannya bahwa letusan tersebut memiliki dampak terhadap kesuburan tanah di sekitar gunung yang bersangkutan.

Menurut Taverne (1925) selain tahun 1772, gunung Papandayan di masa kolonial masih mengalami beberapa erupsi, diantaranya yang terjadi pada tahun 1923. Berbeda dari erupsi yang terjadi pada tahun 1772 yang memuntahkan lontaran-lontaran material solid, erupsi kali ini merupakan letusan uap yang pada akhirnya membentuk Kawah Baru dan Kawah Nangklak (Musdlifah Wahyu, dari Pratomo.I, 2006)

Papandayan, Hidup Baru Setelah Erupsi Dahsyat

Kawah Papandayan sekitar tahun 1910.
Kawah Papandayan sekitar tahun 1910. (Foto Koleksi KITLV 1404156.)

Erupsi yang terjadi pada tahun 1772, membuat Papandayan mengalami kerusakan yang yang luar biasa. Sebuah pemandangan unik dapat disaksikan dalam sebuah hamparan sabana yang dipenuhi ratusan tonggak pohon menghitam sisa pohon jenis cantigi yang terbakar akibat peristiwa yang mengerikan tersebut. Kawasan tersebut dinamai Hutan mati, sebuah bukti nyata yang masih ada hingga kini seakan menjadi sebuah monumen yang mengingatkan akan peristiwa besar itu.

Menguatkan apa yang disampaikan oleh Thomas Stamford Raffles, gunung-gunung yang pernah mengalami erupsi akan memberikan dampak kesuburan di sekitarnya.

Baca Juga: Cicalengka dalam Buku Panduan Perjalanan Tahun 1891-1930

F.W.Junghuhn dalam catatannya mengatakan, setelah 71 tahun periode sejak terakhir ia mengunjungi Papandayan, ia menyaksikan gunung itu telah bertumbuh. Retakan kawah yang terbentuk akibat erupsi besar tersebut telah tertutup sebesar dua pertiganya.

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Siapakah (Calon) Presiden yang Terbaik?

Minggu, 24 September 2023 | 18:21 WIB

Proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung), untuk Siapa?

Jumat, 22 September 2023 | 17:47 WIB

Industriawan Militer Menjadi Penghambat Perdamaian!

Kamis, 21 September 2023 | 12:05 WIB

Generasi Z dan Pelaksanaan Profil Pelajar Pancasila

Minggu, 10 September 2023 | 17:49 WIB

Mengintip Bioskop Zaman Baheula di Bandung

Minggu, 10 September 2023 | 15:32 WIB

Mau Sampai Kapan Kita Bergantung pada TPA Sarimukti?

Kamis, 7 September 2023 | 16:16 WIB

Pemimpin Baru Menghadapi Situasi yang Tidak Nyaman

Rabu, 6 September 2023 | 11:27 WIB

Literasi Majalengka Membumi dan Merangkul Langit

Kamis, 31 Agustus 2023 | 12:42 WIB
X