Cicalengka dalam Buku Panduan Perjalanan Tahun 1891-1930

- Jumat, 5 Agustus 2022 | 15:24 WIB
Dua buku pertama yang membahas panduan perjalanan ke Cicalengka. Masing-masing karya M. Buys (1891) dan L.F.M. Schulze (1894).  (Sumber: Delpher.nl.)
Dua buku pertama yang membahas panduan perjalanan ke Cicalengka. Masing-masing karya M. Buys (1891) dan L.F.M. Schulze (1894). (Sumber: Delpher.nl.)

Keterangan dari Schulze (1894: 36, 41) hampir sama dengan Buys. Dalam bab berjudul “From Bandoeng to Garoet (77 km)”, Schulze menyatakan perjalanan antara Bandung dan Garut dengan menggunakan kereta api negara ditempuh dalam tempo hampir tiga jam. Relnya hampir lurus ke arah tenggara, kemudian berhenti di halte Gedebage dan Rancaekek, lalu Cicalengka sepanjang 27 km (715 di bawah permukaan laut). Dari sana, rangkaian gerbong ditarik lokomotif gunung ke arah Nagreg, karena harus menempuh medan berat.

Schulze (1894: 76) menambahkan data lainnya, berupa peninggalan purbakala yang ditemukan di Cicalengka (ruins of Tjitjalengka) dan memasukkan daftar pesanggrahan sebagai tempat beristirahat atau menginap para pelancong (“List of the Pasangrahan’s in West-Java”). Di Afdeling Cicalengka, pesanggrahan-pesanggrahan berada di Ciparay, Pacet, Cisurupan (jalan ke Gunung Papandayan), Pasir Kiamis, Balubur Limbangan, Dano, Paseh, Pangragajian, dan Cimulu (Schulze, 1894: 79-80).

Bila pada karya Buys terdapat informasi perburuan berkik di Rancaekek, tetapi dalam buku Schulze tidak ada. Sementara data peninggalan purbakala dan daftar pesanggrahan disebutkan Schulze, Buys tidak membicarakannya. Dengan demikian, saya pikir buku Schulze berfungsi bukan saja sebagai buku panduan perjalanan, melainkan juga menjadi buku panduan pariwisata bagi yang hendak berkunjung ke Afdeling Cicalengka.

Awal Abad ke-20

Hingga paruh pertama abad ke-20, banyak buku panduan perjalanan yang menyebut-nyebut Cicalengka berikut potensi wisatanya. Di antaranya karya S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1921) dan karya F.B. Jantzen (1930).
Hingga paruh pertama abad ke-20, banyak buku panduan perjalanan yang menyebut-nyebut Cicalengka berikut potensi wisatanya. Di antaranya karya S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1921) dan karya F.B. Jantzen (1930). (Sumber: Delpher.nl.)

Pada awal abad ke-20, melalui Reisgids voor Nederlandsch-Indie (1902: 45), informasi seputar Cicalengka yang dimasukkannya hampir sama dengan Buys. Tetapi ditambah keterangan bahwa perjalanan satu jam dari Bandung ke Cicalengka dikenal oleh para kelana dengan ungkapan berbahasa Italia: “un pecco di cielo caduto in terra”, karena melalui rawa-rawa yang luas membentang di Rancaekek. Kemudian, katanya, para penembak berkik yang ulung dapat memperoleh sebanyak 150 ekor hanya dalam beberapa jam saja.

Dalam Java, the Wonderland (1908) dan karya W.O.I. Nieuwenkamp (1908), keterangannya tidak jauh berbeda dari Buys dan Reisgids voor Nederlandsch-Indie, tapi disertai data baru. Nieuwenkamp (1908: 55) mengatakan kereta pertama dari Bandung ke Garut diberangkatkan pada pukul enam lebih satu menit pagi. Kereta akan menurun sepanjang Gedebage hingga Rancaekek, dengan ketinggian 668 meter. Di Rancaekek selalu tersedia kereta kuda yang membawa para kelana ke Sumedang dan Cirebon. Dari situ pula, barang-barang pos untuk daerah Cirebon diturunkan.

Di samping dapat menikmati keindahan dataran Bandung, di Rancaekek para penumpang dapat melihat pemandangan dari sisi kiri kereta api berupa Gunung Bukit Tunggul (2.208 meter) dan di sebelah kanan Gunung Malabar (2.096 meter), Gunung Rakutak (1.918 meter), dan lain-lain. Antara Rancaekek hingga setengah jalan ke Cicalengka, kereta api berjalan di wilayah Afdeling Sumedang. Sementara wilayah Afdeling Cicalengka dimulai dari Citarik.

Baca Juga: Ngadu Bagong Saat Peresmian Stasiun Cicalengka Tahun 1884

Jalan dari Bandung ke Cicalengka hampir lurus, dan bagian terpanjang yang lurus sepanjang 20,446 km. Dari Rancaekek ke Cicalengka, kereta api menanjak dengan ketinggian 715 meter. Lalu, setelah lokomotif diberi air, perjalanan dilanjutkan melalui pegunungan, ke Nagreg, dan melalui punggungan Gunung Graha (1.410 meter) dan Gunung Mandalawangi (1.650 meter) di tepi kiri Sungai Cibodas.

Sementara yang tertulis dalam Boekoe Penoendjoek Djalan boeat Plesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja, hampir sama dengan Nieuwenkamp (1908). Bahkan dapat dikatakan merupakan terjemahan dari buku tersebut.

Biar tidak penasaran, berikut saya akan mengutip contohnya: “Dari Rantja Ekek ka Tjitjalengka itoe ada soeatoe perdjalanan naik, sebab Tjitjalengka tingginja 715 M. Malah sabeloen brangkat locomotief haroes di tambah aer doeloe, dan di dalam perdjalanan orang bisa taoe bahwa perdjalanan spoor itoe oeroet di tanah pegoenoengan. Naiknja perdjalanan itoe teroes sadja sampe di Halte Nagreg. Sateroesnja maka perdjalanan spoor itoe melintasi toempaknja goenoeng Graha (1410 M) dan goenoeng Maudalawangi (1650 M) jang letaknja ada di samping kirinja Tjibodas” (Hal. 47-48).

Potensi Wisata Mengemuka

Nampaknya, potensi wisata Cicalengka baru mengemuka pada karya S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (1921: 39, 77-78). Mereka (1921: 39) menyatakan di pal 25 atau beberapa kilometer dari Rancaekek, di dekat jalan raya, di sebelah kanan jalan, ada kolam pemandian, yang disebut Cipanas, dan dimiliki oleh mantan bupati Bandung. Tempat mandi yang bersih sudah dibangun di pinggir kolam. Airnya yang bersuhu 40 derajat celsius mempunyai daya sembuh, barangkali karena adanya kandungan radium, yang juga ditemukan pada mata air panas di Priangan.

Sementara di sekitar Citarik ada kompleks pemakaman tua. Di situ Reitsma dan Hoogland (1921:77-78) menulis, “Ada juga makam para pangeran yang tua, bekas kerajaan kecil Parakanmuncang, yang dianeksasi Kabupaten Bandung pada tahun 1813; pusat kerajaan tersebut ada di Citarik, di pal 27, sebelum Cicalengka”.

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Respek dalam Berkomunikasi

Jumat, 24 Maret 2023 | 11:11 WIB

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB

Situ Lembang Danau Kaldera Gunung Sunda

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:50 WIB

Bahagiakan Dirimu dengan Membahagiakan Orang Lain

Kamis, 16 Maret 2023 | 14:55 WIB

Demi Sebuah Konten, Agama pun Digadaikan

Senin, 13 Maret 2023 | 15:32 WIB
X