Fenomena Sosial Citayam Fashion Week: Dari Harajuku, Gangnam, hingga La Sape

- Jumat, 29 Juli 2022 | 16:31 WIB
Ajang Citayam Fashion Week, bukan lagi sekedar fenomena fashion, namun lebih tepat disebut sebagai fenomena sosial. (Instagram/citayamfashionweek.jkt)
Ajang Citayam Fashion Week, bukan lagi sekedar fenomena fashion, namun lebih tepat disebut sebagai fenomena sosial. (Instagram/citayamfashionweek.jkt)

Menurut Georg Simmel, seorang sosiolog, fashion sangat berhubungan dengan kelas sosial sehingga terjadi sebuah proses imitasi serta diferensiasi.

Maka sah-sah saja mengaitkan Citayam Fashion week dengan gaya street fashion Harajuku di Jepang, bila yang dimaksud adalah gaya berbusana di jalanan.

Bisa jadi pegiat fashion di kawasan SCBD tersebut mencoba mengimitasi apa yang populer di Harajuku. Keduanya sama-sama unik dengan ciri khas sesuai dengan kultur masing-masing negara.

Citayam Fashion Week, memang baru saja muncul dan menjadi viral, hingga menjadi sorotan berbagai media termasuk media asing. Sayangnya ia muncul tanpa citra yang pekat dan hingga kini terlihat masih belum menemukan jati dirinya.

Sementara Harajuku, jika kita membandingkannya, tidak dapat diukur hanya sekedar dari gaya berbusana di jalanan karena mereka memiliki akar yang kuat sehingga sanggup bertahan puluhan tahun. Bahkan Harajuku telah mendapat pengakuan sebagai salah satu kiblat street fashion dunia.

Baca Juga: Puan Maharani Apresiasi Kreativitas Citayam Fashion Week, Imbau Anak-anak Tak Lupakan Pendidikan Formal

Fashion menggambarkan identitas penggunanya, dan ini yang diusung oleh Harajuku street fashion. Mirip dengan budaya punk yang lahir di Inggris tahun 70an, Harajuku juga mengusung ideologi anti kemapanan. Ia hadir sebagai respons untuk menghadirkan kembali kebebasan atau kemerdekaan terhadap individu yang diekspresikan melalui cara berbusana.

Pegiat Fashion Harajuku seakan ingin meretas batas kemapanan dalam berbusana secara konvensional, bahkan seakan ingin melebih-lebihkan citra feminitas dan maskulinitas.  

Tak hanya itu mereka pun berani melampaui sensibilitas gender dengan menghilangkan batas antara busana pria dan wanita. Maka tak hanya androgini bahkan anomali gender pun mereka tampilkan dalam cara mereka berbusana yang bergaya.

Gangnam Style yang Berbanding Terbalik Dengan La Sape

Berbeda dengan Harajuku, fashion bagi masyarakat Gangnam justru ingin menguatkan citra dari sebuah distrik elite di Kota Seoul, Korea Selatan.
Berbeda dengan Harajuku, fashion bagi masyarakat Gangnam justru ingin menguatkan citra dari sebuah distrik elite di Kota Seoul, Korea Selatan. (Pixabay/HeungSoon)

Berbeda dengan Harajuku, fashion bagi masyarakat Gangnam justru ingin menguatkan citra dari sebuah distrik elite di Kota Seoul, Korea Selatan.

Ini bukan perkara ideologi namun lebih sebagai penegasan pada identitas kelas sosial yang ingin ditampilkan oleh orang-orang yang hidup di kawasan elit negara itu.

Bagi mereka, fashion adalah sebuah gaya hidup. Bisa jadi tampilan mereka tampak sederhana, namun dapat dipastikan apa yang mereka kenakan adalah barang-barang branded dengan harga selangit.

Berbanding terbalik dengan masyarakat distrik Gangnam di Korea Selatan, Komunitas La Sape di Kongo, yang sama-sama mencuri perhatian dunia, benar-benar menampilkan identitas yang sungguh kontras.

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

SIMFONI DIYANTO: DEKOLONISASI IMAJINASI

Selasa, 6 Juni 2023 | 10:49 WIB

Penjual Bakmi di Bandung Tahun 1898-1932

Minggu, 4 Juni 2023 | 13:45 WIB

Memandang Bijak tentang Study Wisata

Minggu, 4 Juni 2023 | 12:29 WIB

Menebar Brahmavihara, Meraih Kebahagiaan

Minggu, 4 Juni 2023 | 12:13 WIB

Obituari 4 Juni untuk Mochtar Pabottingi

Minggu, 4 Juni 2023 | 11:34 WIB

SPIRIT IQRA

Rabu, 31 Mei 2023 | 11:54 WIB

Coldplay Bekukan Akal Sehat

Rabu, 31 Mei 2023 | 11:19 WIB

Manfaat Memandang Sesuatu Itu Secara Baik

Senin, 29 Mei 2023 | 11:02 WIB

Capgome di Bandung Tahun 1897-1938

Senin, 29 Mei 2023 | 10:46 WIB

Upaya Perbaikan Data Pertanian

Sabtu, 27 Mei 2023 | 16:15 WIB
X