Wafatnya Emmeril Kahn Mumtadz (23) di Sungai Aare, Bern Swiss menggugah mereka yang berqalbu bening. Mereka yang selama ini tersisih oleh logika yang dibuat-buat untuk membenarkan kesalahan.
Puluhan, ratusan ribu orang bahkan lebih dari itu menyampaikan bela sungkawa ke Gedung Pakuan. Banyak pula yang menanti dalam duka di sepanjang jalan menuju tempat pemakaman di Desa Cimaung, Kabupaten Bandung.
Jutaan orang lagi di seluruh Indonesia bahkan dunia mengikuti dari hari ke hari peristiwa duka ini melalui layar kaca, You Tube, Instagram dan berbagai jenis media sosial lainnya.
Mayoritas khalayak tersebut meneteskan airmata bahkan menangis tersedu-sedu padahal mereka tak punya hubungan kekerabatan, emosional atau kenal dekat dengan almarhum Emmeril Khan Mumtaz.
Almarhum sebelumnya tak terlalu dikenal. Benar ia putra tertua Gubernur Jawa Barat Ridwan. Benar ia alumni ITB. Betul almarhum sering berbagi. Namun semuanya itu lebih bersifat lokal.
Baca Juga: Menunggu Kiprah Eksplosif Persib di Piala Presiden 2022
Mengapa ada semacam magnet yang membuat jutaan yang tersebar dimana-mana, bersatu dalam duka?
Ada yang berpendapat itu terjadi lantaran ayahnya, jabatannya dan keluarganya. Bisa pula karena pengaruh media yang menyiarkan secara berulang-ulang hingga daya ingat menancap di benak pemirsa. Semua pendapat itu berlandaskan kebiasaan birokrat, hubungan kekerabatan dan teori komunikasi.
Tak Ada Mobilisasi
Artikel Terkait
Empat Nama Jalan untuk Satu Ruas Jalan yang Sama
Para Pejabat Cicalengka Tahun 1871-1923
6 Pemenang Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com Mei 2022: Total Hadiah Rp1,5 Juta!
Karasak itu Nama Pohon dari Keluarga Ficus
Program Sekolah Penggerak untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Pecinan Cicalengka sejak 22 Januari 1872
Mencetak Generasi ‘Boseh’
Pembangunan Ibu Kota Baru dari Kacamata Teknik Sipil
Menunggu Kiprah Eksplosif Persib di Piala Presiden 2022
Haruskah Indonesia Bergabung dengan BRICS?