Meski sudah diperintah sendiri oleh seorang asisten residen bersama zelfstandige patih, Afdeling Cicalengka masih termasuk wilayah Kabupaten Bandung.
“Dengan keputusan 16 Juni 1866 No. 30, saya ditugaskan untuk menunaikan sebuah misi di Keresidenan Priangan. Maksudnya, setelah berunding dengan kepala administrasi daerah dan para bupati di sana, menyerahkan usulan pada pertanyaan ihwal pengembangan sistem Priangan, yang didasarkan pada administrasi seperti di daerah Jawa lainnya”.
Kalimat-kalimat itu ada laporan Otto van Rees (1823- 1892), Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen, ontleend aan het rapport van het lid van den Raad van Nederlandsch-Indië, belast met eene zending naar die Regentschappen (1880: III). Otto dikenal sebagai politikus Belanda liberal, sempat menjabat sebagai anggota Dewan Hindia Belanda (1864-1867), Menteri Tanah Jajahan (1879) dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1884-1888).
Sebelum menapaki jenjang karier tinggi, menurut Stapel (dalam P.J. Blok dan P.C. Molhuysen, Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek. Deel 10 (1937: 791), Otto yang lahir di Culemborg pada 4 Januari 1823 dari pasangan Dr. J. van Rees dan G.J.E. Holmberg de Beckfelt tiba di Hindia Belanda pada 11 Juli 1837. Mula-mula ia bekerja sebagai juru tulis di kantor sekretaris umum. Ketika menjadi residen Surabaya, pada 1862 dia menyelidiki kondisi budidaya tembakau secara bebas di Rembang. Setahun berikutnya, 1863, dia mengusulkan agar pemerintah menyelenggarakan reformasi, untuk meningkatkan pemasukan Hindia tanpa merugikan kesejahteraan pribumi.
Usulan itu kemudian diambil oleh Menteri Tanah Jajahan I.D. Fransen van der Putte. Dalam suratnya yang bertitimangsa 25 April 1864, Fransen meminta kepada Gubernur Jenderal Hindia Beladna L.A.W.J. Baron Sloet van de Beele agar sistem Priangan diselidiki hingga tuntas (Jan Breman, Keuntungan kolonial dari Kerja Paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870, 2014: 286).
Inilah yang melatari reorganisasi di Priangan, sebagaimana yang dikutip di atas. Menurut Otto, “Oleh karena itu, bahkan di dalam pemerintah itu tidak ada kesadaran penuh mengenai hubungan asali antara bupati-bupati Priangan dengan pemerintah serta penduduknya, dalam kaitannya dengan hak politik bahkan hak sosial dan hak pribadinya”. Dengan keadaan demikian, kata Otto, “Berdasarkan keputusan 30 September 1865 No. 22, penyelidikan penting dilakukan untuk menentukan apakah kampanye bupati Bandung tentang kepemilikan lahan di kabupaten harus diakui” (1880: III).
Sebagai anggota Dewan Hindia Belanda, Otto van Rees selama enam bulan antara 1866-1867 tinggal di Priangan untuk mengumpulkan keterangan tentang penanaman kopi, mobilisasi tenaga kerja, dan campur tangan para bangsawan tinggi dan rendah di dalamnya. Ihwal reformasi itu disampaikannya dalam pertemuan dengan lima bupati Priangan di Bandung pada 31 Juli 1866 (Breman, 2014: 286). Itulah yang disebut sebagai De conferentie te Bandong (Jacob Dirk Herwerden, De conferentie te Bandong: afschaffing van het Preanger-stelsel, 1871).
Baca Juga: Nama Jalan Proyek Harus Diganti dengan yang Sesuai Karakter Alam atau Budaya Masyarakat Setempat
Banyak hal yang diungkap oleh Otto dalam laporan yang diselesaikan di Batavia pada 30 Oktober 1867 dan dicetak pada 1880 itu. Antara lain ia menyebutkan instruksi 1686 menyebutkan semua pribumi yang tidak tunduk kepada kepalanya dinyatakan kehilangan segala hak dan perlindungan hukum (Breman, 2014: 33). Sistem tanam tanam paksa pada abad ke-18 sebagai dampak dari anggapan petani tidak akan memproduksi tanaman pasar atas kemauan sendiri, dan tradisi VOC di wilayah Jawa hampir tetap utuh. Penduduk Priangan harus menanggung beban uang, natura, dan wajib kerja bagi penguasa kolonial dan pemuka pribumi (Breman, 2014: 287-288).
Oleh karena itu, Otto van Rees menekankan tentang mendesaknya reformasi, yaitu membebaskan penduduk dari beban kerja pengabdian kepada penguasa pribumi. Gagasan lainnya adalah memecah wilayah Priangan, untuk memudahkan kepemerintahan, berupa pembentukan tiga keresidenan, yang terbagi ke dalam 12 wilayah kontrolir dan 63 distrik, dan melibatkan lebih banyak pegawai bangsa Eropa (Breman, 2014: 295).
Sumber Aliran Informasi
Di balik penyelidikan Otto van Rees, ternyata ada peran K.F. Holle dan Penghulu Besar Limbangan R.H. Moehamad Moesa, sebagai informannya. Kata Breman (2014: 298), “Dialah sumber aliran informasi yang berasal dari kalangan pribumi, yang secara garis besar mengatakan bahwa kepala rendahan dan rakyar petani mengartikan pemutusan hubungan dengan petinggi pribumi sebagai tanda datangnya masa yang lebih baik. Rakyat sangat menantikan datangnya ‘aturan baru’ (sebutan penduduk untuk sistem baru).”
Lalu, apa yang ada di benak Holle ihwal reorganisasi Priangan? Saya mendapatkan gambarannya dari buku Tom van den Berge, Karel Frederik Holle: Theeplanter in Indie, 1829-1896 (1998). Konon, ketika Holle ke Priangan tahun 1857, yang dilihatnya di mana-mana adalah kopi sehingga mendominasi kehidupan hampir setengahnya orang Sunda. Dengan Sistem Priangan, rakyat kebanyakan dipaksa untuk mempersiapkan lahan, menanam kopi, dan mengangkut hasil panennya ke gudang pemerintah. Dalam setahun, 70 hari di antaranya habis mengurusi kopi (Berge, 1998: 39).
Artikel Terkait
Peran Guru Mewujudkan Sumedang Simpati
Cara Menjadi Minimalis, Filosofi atau Konsep Dasar
Jalur Sepeda Bandung - Lembang untuk Rombongan dan Pemula
Mendesak Perlunya Tim Ahli Toponimi di Daerah
Gubernur Jenderal Makan Siang di Cicalengka pada 20 Juli 1860
Cuan Mata Uang Kripto untuk Siapa?
Tadarus Buku di Bandung: Kini dan Dulu
Terwujudnya Satu Data Kependudukan Indonesia
PD III Tak Akan Terjadi lantaran Perang Ukraina
Nama Jalan Proyek Harus Diganti dengan yang Sesuai Karakter Alam atau Budaya Masyarakat Setempat