Jauh sebelum kemunculan AARC, sudah hadir kelompok membaca yang bermarkas di Cicalengka.
Sore itu matahari mulai tergelincir. Panasnya cenderung meredup dan tersorot kuning kemerahan. Saya segera bergegas untuk pergi ke Museum Asia Afrika, tempat terselenggaranya tadarus buku yang digelar oleh komunitas Asian African Reading Club.
Di ruangan audiovisual, beberapa orang sudah menunggu giliran untuk membaca buku. Masing-masing mendapat giliran membaca satu bab dengan suara keras tanpa langgam yang khas. Biasanya kegiatan ini berlangsung setiap Rabu sore, tepat pukul 16.00. Sampai menjelang magrib tadarus dihentikan sementara lalu dilanjutkan kembali usai salat magrib dengan sesi diskusi.
Sejak tahun 2009 Asian African Reading Club (AARC) memang intens mengadakan tadarus buku. Menurut Deni Rachman, pendiri sekaligus ketua pertama AARC, komunitas ini melanjutkan gagasan Klab Baca Pramoedya yang muncul pada medio tahun 2003. Deni sendiri merupakan pentolan Klab Baca Pramoedya. Bersama Daniel Mahendra ia mengusung kegiatan khataman buku persis seperti metode tadarus Al-Qur’an, dengan beberapa orang membentuk lingkaran. Sayangnya, klab membaca yang lebih dulu lahir dari AARC itu harus vakum pada tahun 2006.
“Iya, AARC berdiri tahun 2009. Waktu itu saya bersama empat orang lainnya mendirikan komunitas ini, dengan meneruskan gagasan Klab Baca Pramoedya yang berakhir di tahun 2006. Nama tadarus buku saya pakai belakangan untuk kegiatan reguler Asian African Reading Club.”, ujar Deni.
Hingga kini, Asian African Reading Club masih eksis menggulirkan tadarus buku. Menurut penuturan Deni, jumlah buku yang pernah ditadaruskan berkisar lebih dari 40 buku. Tentu saja buku-buku yang berlatar Asia Afrika. Baik yang berbentuk sastra, sejarah maupun pemikiran tokoh-tokoh di benua Asia Afrika.
Deni juga menceritakan bahwa buku pertama yang ditadaruskan adalah The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani. Konon, buku ini menaruh semangat peaceful coexistence karena berkisah tentang jejak Konferensi Asia Afrika di Bandung yang gandrung menentang kolonialisme. Mula-mula Deni ditawari oleh kepala Museum KAA untuk mendiskusikan buku tersebut. Kala itu The Bandung Connection masih terbilang langka, bahkan Deni sendiri belum pernah membacanya.
“Saya juga baru melihat buku itu setelah Isman Pasha, kepala Museum KAA, menawari saya untuk mentadaruskan The Bandung Connection sebelum kegiatan AARC dimulai”, ucap Deni.
Baca Juga: Gambaran J.E. Teijsmann tentang Cicalengka Tahun 1853
Di dalam ruangan yang penuh dengan kursi berwarna merah buku The Bandung Connection mengawali tadarusan laiknya kegiatan percobaan. Satu bulan selanjutnya Deni mengajak empat orang pegiat literasi untuk membentuk Asia Afrika Reading Club. Keempat orang itu yakni Adew Habtsa, Puji Wiranti, Theoresia Rumthe dan Letare Aldo Manurung. Dari The Bandung Connention komunitas ini mulai bergerak dan terus berkelanjutan. Tepatnya pada pertengahan tahun, Agustus 2009. Itulah titik pertama Asian Afrika Reading Club yang dinahkodai Deni menjalankan kegiatan tadarus buku dan bergulir selama beberapa bulan.
Sampai tahun 2011 Deni sudah menampilkan lebih dari 20 buku untuk ditadaruskan. Buku yang paling lama yaitu, Di Bawah Bendera Revolusi (jilid 1) yang memang mempunyai ketebalan sekitar 699 halaman.
“Yang paling lama, buku Di Bawah Bendera Revolusi, sampai berbulan-bulan” papar Deni.
Tiba saatnya Deni berhenti sebagai nahkoda. Sosok selanjutnya tertuju kepada Adew yang sedari awal paham betul perkembangan komunitas ini. Pada tahun 2011 AARC mengadakan pemilihan ketua yang baru. Forum pun sepakat untuk menunjuk Adew. Maka Adew terpilih sebagai ketua selanjutnya. Dari tahun 2011 sampai sekarang, Adew banyak membawa suasana baru ke dalam AARC.
Kegiatan tadarus pun tidak saja diadakan di dalam museum, tetapi juga sempat digelar di beberapa kampus di Bandung dan lembaga formal lainnya. Sebelum tadarus berlangsung, Adew memimpin jalannya acara. Mula-mula ia mendoakan para pahlawan yang sudah lama wafat. Mulutnya berkomat-kamit. Setelah itu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya seraya memainkan gitar dan mengiringi para peserta untuk bernyanyi bersama-sama.
Artikel Terkait
Seperti Berbuat Jahat, Ada Banyak Cara untuk Berbuat Baik
Isu Rasisme yang diangkat dalam Serial ‘The Falcon and the Winter Soldier’
Mengelola Nilai Kebijaksanaan
Belajar Regulasi Adopsi Anak lewat Film 'Instant Family'
Peran Guru Mewujudkan Sumedang Simpati
Cara Menjadi Minimalis, Filosofi atau Konsep Dasar
Jalur Sepeda Bandung - Lembang untuk Rombongan dan Pemula
Mendesak Perlunya Tim Ahli Toponimi di Daerah
Gubernur Jenderal Makan Siang di Cicalengka pada 20 Juli 1860
Cuan Mata Uang Kripto untuk Siapa?