Cuan Mata Uang Kripto untuk Siapa?

- Senin, 23 Mei 2022 | 16:13 WIB
Ilustrasi mata uang kripto | Trend aset digital dan mata uang kripto ini sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2016 setelah teknologi blockchain memungkinkan pencipataannya pada 2008. (Pixabay/WorldSpectrum)
Ilustrasi mata uang kripto | Trend aset digital dan mata uang kripto ini sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2016 setelah teknologi blockchain memungkinkan pencipataannya pada 2008. (Pixabay/WorldSpectrum)

Trend aset digital dan mata uang kripto ini sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2016 setelah teknologi blockchain memungkinkan pencipataannya pada 2008.

Viralnya pemberitaan Ghozali yang mendapatkan cuan miliaran rupiah karena aset digital yang diciptakannya terjual di marketplace NFT membukakan mata masyarakat Indonesia akan potensi cuan melalui aset digital. Banyak masyarakat latah ikut-ikutan, dimulai dari menjual Kartu Tanda Penduduk sampai Kartu Keluarga yang sebenarnya merupakan data yang sangat rahasia.

Trend aset digital dan mata uang kripto ini sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2016 setelah teknologi blockchain memungkinkan terciptanya mata uang kripto pada 2008. Menurut hasil riset platform perdagangan  aset kripto, Gemini,  dalam dua tahun ini Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan kepemilikan aset kripto tertinggi.

Perkembangan mata uang kripto dan aset digital tidak terlepas dari teknologi blockchain, secara bahasa blockchain terdiri dari dua kata yaitu block dan chain, block berarti kelompok dan chain artinya rantai. Sederhananya blockchain adalah teknologi yang membentuk kelompok atau dalam hal ini block yang saling berkaitan seperti rantai yang didalamnya berisi informasi transaksi.

Pada dasarnya yang selama ini kita lakukan dalam internet terutama dalam lalu lintas data tidak lain hanya menyalin dan menempel, dan pada setiap data yang kita kirim ada pihak ketiga yang menghubungkannya. Misalnya, pengiriman data melalui aplikasi pesan instan sesungguhnya kita menyalin data kemudian server aplikasi pesan instan tersebut mengirimkan data kita pada seseorang yang artinya ada data kita yang tersimpan di server mereka namun ini tidak terjadi pada teknologi blockchain. Blockchain memungkinkan kita berkirim data peer to peer namun tetap tercatat sehingga mudah sekali untuk melacak sebuah transaksi dalam blockchain.

Baca Juga: 3 Tips Ampuh Belanja Aset Kripto Menurut Kemenkominfo

Teknologi yang semula tersentralisasi pada server penyedia layanan (Whatsapp, Facebook, Google) menjadi terdesentralisasi. Seperti namanya blockchain, teknologi ini terdiri dari blok-blok yang digabungkan menjadi satu dan setiap terjadi transaksi didalamnya akan otomatis mencatat transaksi secara permanen dan tercatat pada seluruh blok dalam satu jaringan tersebut sehingga teknologi ini sangat transparan juga sulit sekali di retas. Mengapa? Karena transaksi apapun yang terjadi akan terdistribusi pada semua blok dalam satu jaringan yang saling terkoneksi sehingga jika ingin meretas satu transaksi dalam satu blok harus juga mengubah semua data pada seluruh blok yang mungkin ada ratusan, ribuan bahkan jutaan blok.

Teknologi blockchain inilah yang menjadi cikal bakal mata uang kripto Bitcoin yang tidak memiliki otoritas sentral persis seperti blockchain yang terdesentralisasi, transparan dan imun. Saat  ini mata uang kripto kerap dijadikan investasi karena nilainya yang masih berfluktuasi namun sebenarnya misi dari mata uang kripto bukanlah investasi melainkan membuat mata uang kripto digunakan secara luas oleh masyarakat.

Di Indonesia sendiri, mata uang kripto ini bisa menjadi komoditi yang diperdagangkan namun belum bisa dijadikan alat tukar. Lalu apa itu NFT yang membuat Ghozali cuan miliaran rupiah? NFT adalah singkatan dari Non-Fungible Token yaitu sertifikat keaslian yang unik dan eksklusif yang diterbitkan oleh pembuat aset. Jika Bitcoin adalah mata uang kripto maka NFT ini adalah sebuah aset kripto yang tidak berwujud karena bentuknya digital. Produk digital yang bisa dimasukan dalam kategori NFT antara lain music, video, game dan e-book.

Setidaknya ada 2 (dua) isu bisa kita cermati dalam perkembangan teknologi ini, pertama adanya gap antara pemerintah dan swasta dalam mengadopsi teknologi digital dan kedua adanya isu pemerataan kesejahteraan terutama mengenai distribusi pendapatan, ketimpangan ekonomi dan dalam hal ini tentu teknologi. Untuk saat ini, kita akan lebih menyoroti isu kedua mengenai pemerataan kesejahteraan.

Baca Juga: Instagram Uji Coba Fitur NFT, Kreator dan Kolektor Bebas Pajang NFT di Feed, Story, dan DM

Saat pandemi melanda seluruh sektor sosial terdampak tak terkecuali, termasuk sektor pendidikan. Institusi pendidikan dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi mengalami pergeseran cara belajar dengan mengadopsi teknologi. Internet menjadi sebuah kata kunci dalam pembelajaran jarak jauh dan tentu saja adanya device yang mendukung. Pembelajaran jarak jauh menjadi cermin bagi kita betapa ketimpangan itu nyata, bagi masyarakat yang mempunyai sarana dan prasarana memadai tentu dengan adanya pembelajaran jarak jauh menjadi solusi bagi keadaan pandemi selain masalah teknologi juga timbul masalah mengenai kurang maksimalnya orang tua dalam memberikan pembelajaran dirumah.

Namun bagi masyarakat yang pendapatannya rentan ini bukan sekedar isu kesehatan mental atau learning loss tanpa bermaksud mengecilkan permasalahan tersebut, namun ini adalah potret ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Gembar-gembor revolusi 4.0 bahkan mencuat juga wacana 5.0 ternyata hanya dinikmati sebagaian masyarakat. Kemendikbud dalam hal ini harus mengatur strategi agar masyarakat tetap mendapatkan hak pendidikan tanpa harus mengorbankan kesehatannya di tengah pandemi. Tak jarang juga kita mendengar dan melihat perjuangan guru-guru di pedesaan yang tak terjamah internet harus berkeliling dari satu rumah murid ke rumah murid lainnya agar peserta didiknya dapat tetap belajar.

Teknologi yang tidak merata tentu saja menciptakan kesempatan yang tidak merata, dari contoh pembelajaran jarak jauh ini kita bisa mengukur dimana sebenarnya posisi kita. Artinya jika kita tidak mengelola dan membangun infrastruktur teknologi ini akan ada sekelompok masyarakat yang akan bisa mengakses dan menghasilkan cuan lebih sementara masyarakat yang lain akan tetap tertinggal dan menajamkan jurang ketimpangan diantara masyarakat.

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Siapakah (Calon) Presiden yang Terbaik?

Minggu, 24 September 2023 | 18:21 WIB

Proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung), untuk Siapa?

Jumat, 22 September 2023 | 17:47 WIB

Industriawan Militer Menjadi Penghambat Perdamaian!

Kamis, 21 September 2023 | 12:05 WIB

Generasi Z dan Pelaksanaan Profil Pelajar Pancasila

Minggu, 10 September 2023 | 17:49 WIB

Mengintip Bioskop Zaman Baheula di Bandung

Minggu, 10 September 2023 | 15:32 WIB

Mau Sampai Kapan Kita Bergantung pada TPA Sarimukti?

Kamis, 7 September 2023 | 16:16 WIB

Pemimpin Baru Menghadapi Situasi yang Tidak Nyaman

Rabu, 6 September 2023 | 11:27 WIB

Literasi Majalengka Membumi dan Merangkul Langit

Kamis, 31 Agustus 2023 | 12:42 WIB
X