Tentu, Lebaran Ketupat memiliki makna filosofi yang tidak hanya sebatas opor ayam atau soto ketupat yang biasa disajikan setiap tanggal 7 Syawal. Namun, ada makna yang lebih representatif, hingga kemudian kita bisa menjumpai sakralitas dan sosio-kulturnya yang cukup menawan.
Setiap tahun, sakralitas Lebaran Ketupat semakin mengalami pergeseran atau yang biasa kita sebut dengan dekadensi. Kabar baiknya, saya hidup di kampung yang radiasi urbannya tidak terlalu kontras, walau—meski sedikit—ada. Dengan kata lain, Lebaran Ketupat semakin kehilangan suasana sakralnya.
Konon, setelah saya baca esainya K. A. Dardiri Zubairi, Lebaran Pasca Lebaran, dalam bukunya ‘Wajah Islam Madura’, seolah dengan apik saya diuguhkan sebuah grafis yang menggambarkan suasana lebaran waktu beliau masih kecil. Meski tidak dengan detail, tapi saya cukup mendambakan suasana-suasana sebagaimana beliau tulis dalam bukunya tersebut. Dan yang jelas, suasana itu kontras berbeda dengan Lebaran Ketupat pada masa saya sekarang.
Telasan topa’ (bahasa Madura dari Lebaran Ketupat) pada masa itu menciptakan iklim kekerabatan yang sangat erat. jika meminjam istilahnya K. Dardiri Zubairi— Lebaran Ketupat dulunya sangat guyub. Kekariban bahkan terjadi dan tercipta sebelum lebaran tiba.
Pada masa itu, hampir semua orang bisa membuat anyaman ketupat. Sebab, sejak mereka masih masih kecil tidak hanya tahu menghabiskan opor masakan ibu yang disiapkan untuk dihidangkan ketika Lebaran Ketupat. Namun, mereka juga diajarkan untuk membuat anyaman ketupat (dalam bahasa Madura dikenal dengan istilah orong ).
Baca Juga: Sadranan, Tradisi dan Kearifan Lokal yang Kaya Nilai Karakter
Hal ini dilakukan agar tradisi menganyam ketupat (yang biasanya terbuat dari daun siwalan dan janur muda) tidak hilang ditelan zaman. Sehingga ketupat bisa terus eksis sampai beberapa tahun, bahkan beberapa abad ke depan karena penganyamnya sudah mengalami regenerasi.
Kekerabatan hangat biasanya juga tercipta ketika membuat orong tersebut. orang-orang pada masa itu akan berkumpul (antar keluarga bahkan antar tetangga) dan menganyam ketupat secara bersama-sama. tentu, ini merupakan suasana lebaran yang patut didambakan meski sulit direalisasikan pada masa sekarang. Sekalipun ada, jumlahnya relatif sedikit dan merupakan momen yang sangat langka.
Setelah itu, antar tetangga kemudian saling berbagi ketupat yang telah masak. Bentuk hantarannya pun bermacam, ada hanya ketupatnya saja, ada yang lengkap dengan lauk-pauknya, misal; ayam goreng, serundeng, dan telur rebus. sebuah kenikmatan yang tidak hanya stagnan pada masakannya saja, melainkan juga diperkuat dengan bumbu kekeluargaan yang tercipta.
Artikel Terkait
Mencegah Islamofobia, Quo Vadis Kampus Merdeka?
Meninjau Hukum Properti Indonesia dari The Penthouse: Ketika Tuhan Bernilai Won
Model Konseptual Implementasi Integrasi Fungsi-Fungsi Bisnis di Bank Pembangunan Daerah
6 Pemenang Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com April 2022: Total Hadiah Rp1,5 Juta!
Misteri Uga Bandung dan Banjir Dayeuh Kolot
Memahami Novel Fanfiksi dan Hukum Hak Cipta di Indonesia
China Belajar dari Perang di Ukraina
Isa Anshary Menjadi Khatib Sholat Idul Fitri bersama Presiden Soekarno di Tegallega
Kisah Inspiratif Presiden yang Menyumbangkan 90 Persen Gajinya untuk Rakyat
Sadranan, Tradisi dan Kearifan Lokal yang Kaya Nilai Karakter