Presiden Soekarno sholat Idul Fitri di Tegallega, Kota Bandung, dan yang menjadi khatib menyampaikan ceramah ialah Kiai Isa Anshary.
Hangatnya mentari menyambut pagi, kita pagi itu berebut kamar mandi, berpakaian rapih dan kemudian menuju lapangan tempat diselenggarakanya sholat ied, setelah khusyuk menunaikan sholat, gema takbir mengemuruh, mendengarkan khatib dengan khidmat, kemudian bersalamanan dan saling memaafkan antara satu dan lainnya.
Barangkali inilah suasana Idul Fitri yang membuat kita berseri, anak-anak bahagia memakai baju dan sepatu barunya, menyantap opor, ketupat, dan kue lebaran.
Sebagian orang mungkin memilih mudik dan berlebaran bersama orangtua tersayang di kampung halaman.
Jika kita melihat ke tahun 1951 saat itu Idul Fitri jatuh pada 6 Juli, sebagaimana yang kita tahu setiap hari raya baik Idul Fitri atau idul adha, di Bandung biasanya lapangan Tegallega menjadi tempat diselenggarakannya.
Baca Juga: China Belajar dari Perang di Ukraina
Saat itu koran Algemeen Indisch Dagblad : de Preangerbode, 23 Juni 1951, sudah memberitakan kedatangan Presiden Soekarno yang akan sholat Idul Fitri di Tegallega dan yang menjadi khatib menyampaikan ceramah ialah Kiai Isa Anshary.
Dalam berita yang berjudul “Lebaran-gebed te Bandoeng” menerangkan bahwa panita persiapan untuk sholat Idul Fitri sedang berprogres untuk tahap lanjut, rencananya Presiden Soekarno akan mengikuti shalat Idul Fitri dan mendengarkan ceramah dari ketua Masyumi Jawabarat yaitu Isa Ashari dan setelah sholat Idul Fitri mengunjungi kediaman gubernur Jawabarat, mungkin semacam mengadakan acara halal bil halal.
Suasana Sholat Idul Fitri dan Isa Anshary Menjadi Khatibnya
Ketika waktu sholat id di hari raya Idul Fitri tiba, pada 7 Juli 1951 koran Algemeen Idisch dagblab : de Preangerbode menurunkan laporannya. Dalam tulisan berjudul “Chotbah Van Isa Anshary” melaporkan kondisi saat Idul Fitri di gelar dan penyampaian dari ceramah Isa Anshary.
Dalam laporannya itu digambarkan suasana ribuan umat Islam yang membawa sajadah, kemudian tidak ada pembeda antara pejabat tinggi maupun orang biasa karena semua mengambil tempat dan menghamparkan sajadahnya sendiri untuk shalat id di lapangan Tegallega. Saat itu yang menjadi imam shalat adalah Pangdam Iskandar, lalu seusai shalat Kiai Isa Anshary menyampaikan ceramahnya menguraikan makna 1 Syawal secara jelas dan apa saja yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam keaadan lebaran.
Algemeen Indisch dagblad : De Preangerbode waktu itu menuliskan judul “Zichzelf bedriegen” saat menuliskan isi ceramah dari Isa Anshary, bila dilihat memang begitu tegas, Isa Anshary dihadapan riuhnya masyarakat kota Bandung yang mengikuti shalat Idul Fitri.
Isa Anshary menyatakan bahwa ada beberapa orang yang menjadikan lebaran sebagai sarana untuk mengelabui masyarakat, untuk memperoleh kedudukan tinggi dan menguntungkan dirinya sendiri. Seperti seorang yang serius berpuasa dan lebaran tetapi maksud dari semua itu hanya untuk tujuan dirinya dan mendapatkan pangkat yang lebih tinggi.
Artikel Terkait
4 Cara Bijak Mengelola Angpao Lebaran ala Anak Kuliah
Mudik Rasa Piknik, Promosi Wisata dari Jantung Desa
Penduduk Cicalengka Tahun 1845 dan 1867
Mencegah Islamofobia, Quo Vadis Kampus Merdeka?
Meninjau Hukum Properti Indonesia dari The Penthouse: Ketika Tuhan Bernilai Won
Model Konseptual Implementasi Integrasi Fungsi-Fungsi Bisnis di Bank Pembangunan Daerah
6 Pemenang Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com April 2022: Total Hadiah Rp1,5 Juta!
Misteri Uga Bandung dan Banjir Dayeuh Kolot
Memahami Novel Fanfiksi dan Hukum Hak Cipta di Indonesia
China Belajar dari Perang di Ukraina