Saat ini penulis tidak bisa mudik ke Bandung, tapi untuk mengobati rasa rindu, maka penulis akan membahas tentang Uga Bandung dan banjir Dayeuh Kolot saja.
Uga Bandung ini begini bunyinya, Sunda nanjung lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui. Artinya kurang lebih seperti ini, Sunda akan berjaya jika yang kecewa dari Bandung ke Cikapundung sudah kembali lagi.
Lalu apa hubungannya dengan banjir Dayeuh Kolot?
Sebelum ke sana maka ada baiknya penulis mengupas terlebih dahulu Bandung Kolot atau Dayeuh Kolot yang merupakan pusat kota Bandung era VOC. Menurut peta koleksi De Haan (dapat diakses di situs Sejarah Nusantara ANRI) lembar peta A81, judul peta D: Oedjoengbroeng Kidoel (D=district), letaknya ada di titik pertemuan (patimuan) antara Tjikapoendoeng dan Tjitaroem. Tjikapoendoeng itu mengalir dari utara ke selatan dan membagi dua lanskap Bandoeng menjadi bagian barat dan bagian timur, kemudian bertemu di selatan dengan Tijtaroem.
Sementara itu pada lembar peta A83 D: Tjiparaÿ yang tersambung di atasnya dengan lembar A81, di sana Tjitaroem mengalir dari hulunya di B. Semboeng (B=berg=gunung) di selatan ke arah utara kemudian berbelok ke arah barat karena dipukul oleh arus ke barat oleh Tjibessi dan kemudian Tjitaroem pun bertemu dengan Tjikapoendoeng. Posisi Dayeuh Kolot itu berada di sisi Barat pertemuan itu. Pada peta itu Dayeuh Kolot disebut dengan De Oude Negorij Bandong (Pusat Kota Tua Bandung). Namun akhirnya pusat kota Bandung pun kemudian dipindahkan oleh Daendels ke pusat kota Bandung yang kita kenal saat ini.
Mengapa Bandung pindah ? Alasan yang logis adalah yang pertama pusat kota Bandung yang baru tersebut berada di lintasan De Groote Postweg, sehingga akan memudahkan mobilisasi, baik itu para petinggi, pasukan militer, logistik, maupun informasi. Harus diingat, saat itu rakyat jelata tidak diperkenankan untuk melintas di De Groote Postweg yang oleh karena itu jalan itu disebut juga Heerenweg atau Jalan Raya Juragan, karena hanya para juraganlah yang bisa melintas dengan kuda atau kereta kudanya. Alasan logis yang kedua adalah di De Oude Negorij Bandong tersebut tidak nyaman ditempati karena sering kebanjiran.
Sekarang penulis ingin mengajak para pembaca untuk fokus ke alasan logis yang kedua. Memang benar mungkin banjir bisa dijadikan alasan. Tapi di sini penulis ingin mengajak para pembaca untuk tidak berhenti di sana. Karena jika berhenti di sana maka pupus sudah harapan untuk penanggulangan banjir, dan tentu tidak akan sampai pada kaitannya dengan Uga Bandung. Seperti halnya dokter, maka banjir adalah penyakit yang untuk mengobatinya maka harus ditemukan penyebabnya. Untuk menemukan penyebabnya di sini akan dilakukan pelacakan sumber-sumber sejarah.
Di sini penulis ingin menawarkan sebuah permasalahan sederhana yang jawabannya tidak sederhana. Hal itu untuk dapat mendiagnosa penyebab banjir tersebut. Permasalahannya yaitu mengapa di Dayeuh Kolot seringkali banjir, sehingga konsekuensi logisnya pusat kota Bandung akhirnya harus pindah? Tentu saja berawal dari permasalahan itu akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya, yaitu pertama sejak kapan Dayeuh Kolot dijadikan dayeuh sebelum akhirnya pindah? Kedua, sejak kapan terjadi banjir di Dayeuh Kolot? Ketiga apa akar masalah penyebab banjir itu? Lalu keempat apa solusinya? Untuk kesempatan ini, karena keterbatasan maka akan dijawab pertanyaan pertama dan kedua saja. Dan hal itu cukup untuk dapat kaitannya dengan Uga Bandung.
Artikel Terkait
Meraih Kemenangan Sejati
Naik Delman Istimewa, Adanya Hanya di Bulan Ramadan
Pujas Jatinangor: Tempat Makan Murah dan Anti Sepi untuk Mahasiswa Saat Sahur
4 Cara Bijak Mengelola Angpao Lebaran ala Anak Kuliah
Mudik Rasa Piknik, Promosi Wisata dari Jantung Desa
Penduduk Cicalengka Tahun 1845 dan 1867
Mencegah Islamofobia, Quo Vadis Kampus Merdeka?
Meninjau Hukum Properti Indonesia dari The Penthouse: Ketika Tuhan Bernilai Won
Model Konseptual Implementasi Integrasi Fungsi-Fungsi Bisnis di Bank Pembangunan Daerah
6 Pemenang Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com April 2022: Total Hadiah Rp1,5 Juta!