Pada tanggal 6 Juni 2021 yang lalu, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja telah meninggalkan kita semua pada usia 92 tahun.
Seorang tokoh bangsa dari Jawa Barat dan juga merupakan seorang begawan (peletak dasar ilmu) hukum internasional sekaligus diplomat ulung. Di dunia pemeritahan beliau pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI selama satu periode (1973-1978) dan kemudian pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri RI sebanyak dua periode yaitu periode 1978-1983 dan periode 1983-1988.
Sepak terjangnya di kancah internasional untuk memperjuangkan hak-hak territorial NKRI tak usah dipertanyakan lagi sehingga merupakan kewajaran jika banyak masyarakat Sunda menginginkan beliau dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional. Bahkan mungkin sebenarnya kita tidak perlu berinisiatif untuk mengajukan beliau sebagai Pahlawan Nasional, seharusnya sudah otomatis pemerintahlah yang aktif dan menyadari akan hal ini mengingat jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara.
Di dalam tulisan ini penulis akan mengupas kilasan sepak terjang beliau yang akan diawali dengan kasus Selat Malaka yang kemudian penulis kembangkan menjadi big picture sepak terjang Mochtar Kusumaatmadja di luar negeri khususnya bidang hukum internasional dari era Perdana Menteri Juanda, sampai penguatan-penguatan bidang hukum internasional di dalam negeri saat ia menjadi staf ahli SESKOAD Bandung.
Baca Juga: Ridwan Kamil, Bima Arya, dan Ade Yasin: Kepala Daerah Jawa Barat Terpopuler Tahun 2021
Pertama, kasus Selat Malaka adalah salah satu dari banyak kasus yang dapat menggambarkan dan mewakili kepiawaian beliau di dalam argumentasi hukum internasional. Seperti yang tercatat di dalam buku-buku sejarah, sudah semenjak dari zaman dahulu kala, Selat Malaka selalu menjadi incaran negara-negara kolonial dan adidaya karena Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran yang super penting dan strategis, baik untuk tujuan ekonomi maupun militer. Tak heran di Selat Malaka itulah konflik sering terjadi.
Kasus Selat Malaka ini dapat kita lihat di dalam majalah Dunia Maritim No.3 Tahun XXII yang diterbitkan oleh Dirjen Perhubungan Laut pada bulan Maret 1972. Saat itu Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, yang masih menjabat sebagai dekan Fakultas Hukum Unpad dan guru besar dari Fakultas Hukum UI, diwawancarai oleh jurnalis majalah tersebut pada tanggal 14 Maret 1972. Hasil wawancara tersebut ada di dalam artikel berita dengan judul Kasus Selat Malaka dengan sub-judul Penolakan RI atas Internasionalisasi Selat Malaka Cukup Kuat yang terdapat pada halaman 7.
Isu yang muncul pada tahun 1972 tersebut adalah perihal internasionalisasi Selat Malaka. Pada wawancara tersebut beliau diminta untuk meninjau aspek-aspek hukum dari penolakan isu internasionalisasi Selat Malaka tersebut. Beliau mengatakan bahwa dasar hukum dari penolakan internasionalisasi tersebut adalah perjanjian bilateral RI-Malaysia terkait Selat Malaka. Namun kemudian sang jurnalis mempertanyakan apakah perjanjian tersebut mengikat secara multilateral artinya perjanjian tersebut harus diakui oleh masyarakat internasional.
Dengan taktis Sang Begawan pun menjawab bahwa persoalannya adalah perjanjian bilateral RI-Malaysia tersebut tetap mengakui ‘hak lintas damai’ atau yang di dalam Bahasa Inggris disebut dengan the right of innocent passage, yang diakui oleh Hukum Internasional menyangkut perairan territorial.
Artikel Terkait
Cuti Narapidana sebagai bentuk Pemenuhan Hak dan Integrasi
Gaga Muhammad, Rachel Vennya, Kim Seonho, dan Cancel Culture
Menjadi Keluarga Cerdas Berteknologi dengan Digital Parenting
Mengenal Jenis-jenis Penyakit Hati dan Cara Mengelolanya
Tetap Bersaudara Meskipun Beda Agama
Syarat Tulisan Netizen Ayobandung.com agar Dimuat dan Rincian Hadiah Total 1,5 Juta
Kehancuran Jati Diri Budaya yang Nyata
Mendorong Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia dalam Society 5.0
Rekor! Menlu AS Kunjungi 112 Negara
Ridwan Kamil, Bima Arya, dan Ade Yasin: Kepala Daerah Jawa Barat Terpopuler Tahun 2021