Di Bandung dahulu pernah ada dua BIVB. Meski singkatan keduanya berbeda, tetapi ujung muaranya ialah awal sejarah Persib Bandung.
Setelah Nationaal Voetbal Bond (NVB) berdiri pada 1922, enam tahun kemudian berdiri satu lagi federasi sepak bola pribumi di Bandung. Namanya hampir mirip dengan perserikatan sebelumnya, karena sama-sama disingkat BIVB.
Bila BIVB sebelumnya kependekan dari Bandoengsch Inlandsch Voetbal Bond, maka BIVB yang didirikan pada 1928 adalah Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond.
Soalnya, apakah federasi yang kedua merupakan lanjutan dari perserikatan yang pertama? Kira-kira apakah yang menjadi latar belakang atau konteks bagi kelahiran federasi kedua itu?
Satu hal yang pasti harus dibahas lebih dulu adalah pencantuman kata “Indonesische” pada perserikatan baru itu. Kata tersebut seolah-olah menggantikan “Inlandsch” yang termaktub pada nama federasi yang didirikan pada 1919. Dengan demikian, saya akan sedikit banyak memberikan latar belakang yang terjadi pada persepakbolaan di kalangan pribumi pada tahun 1920-an, terutama menjelang akhir dasawarsa 1920-an.
Menurut Takashi Shiraishi (Zaman Bergerak, 1997: 472), ketika pemogokan dan pemberontakan kalangan kiri di Indonesia pada akhir 1926 dan awal 1927 gagal, karena dibantai pemerintah kolonial, muncullah intelektual nasionalis baru. Kesadaran politik generasi baru itu sudah terbentuk sejak awal 1920-an. Mereka muncul di pentas politik dan mulai bergerak dari tempat yang sudah dipersiapkan generasi sebelumnya. Mereka mengedepankan kesadaran nasional Indonesia, melalui penggunaan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa politik, melalui surat kabar, rapat umum, pemogokan dan partai-partai berdasarkan ideologi tertentu.
Baca Juga: Nationaal Voetbal Bond (NVB) dan Izin Menggunakan Lapangan Tegallega
Inilah yang digaris-bawahi oleh Srie Agustina Palupi kala membahas perkembangan sepak bola di Jawa antara 1920-1942 (“Sepakbola di Jawa, 1920-1942”, dalam Lembaran Sejarah II [2], 2000). Srie menyatakan pada dekade ketiga abad ke-20 perkembangan nasionalisme mengalami peningkatan. Gagasan kebangsaan waktu itu tidak hanya melibatkan partai-partai politik, melainkan juga organisasi pemuda. Para pemuda hendak juga mewujudkan federasi bagi organisasi-organisasi yang diikutinya, agar gerakan nasionalisme menjadi kuat. Inilah yang melatari terjadinya Kongres Pemuda I pada Mei 1926 dan Kongres II pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Srie, kongres II merupakan puncak integrasi ideologi nasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Buah Kongres II tersebut tentu saja Sumpah Pemuda. Peristiwa pada 1928 itu bukan saja komitmen pada satu nusa, satu bahasa, dan satu bangsa, tapi juga pada adanya kehendak fusi semua organisasi pemuda yakni Indonesia Muda dan memproklamasikan “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Soepratman sebagai lagu kebangsaan (70 Tahun PSSI: Mengarungi Milenium Baru, PSSI, 2000: 16).
Artikel Terkait
Pecel Pakis: Sajian Pecel dari Desa Colo Kudus, Warisan Juru Masak Keraton Solo
Nostalgia Jadi Strategi Marketing Cemerlang dalam Dunia Perfilman
Dampak Pandemi dan Adaptasi Industri Mikro dan Kecil di Jawa Barat
Gule Kambing Bustaman, Sajian Gulai Lezat dari Kampung Bustaman Semarang
Katanya Perfilman Indonesia Kembali Pulih?
Tahun Baru Harus Resolusi Baru?
Pemasyarakatan ialah Harapan bagi Masa Depan Indonesia
Instagram, Media Sosial yang Memperlanggeng Hustle Culture
Anak Balita Berseru Kata Bacot, Wajahkah Orang Tua Marah?
6 Pemenang Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com Edisi Desember 2021: Total Hadiah Rp1,5 Juta!