Rata-rata dari video kekejaman pada hewan mendokumentasikan hewan liar yang dipelihara oleh manusia.
Kasus kematian anjing di Aceh bulan Oktober 2021 menuai perhatian sejumlah orang terhadap penyiksaan hewan, yang sebenarnya bukan sesuatu masalah baru. Bahkan, berdasarkan Social Media Animal Cruelty Coalition Report 2021, video yang mendokumentasikan kekejaman hewan dari periode Juli 2020 – Agustus 2021 terkumpul sebanyak 5.480, yang tersebut di berbagai media sosial seperti Youtube, Facebook, dan TikTok. Dari jumlah tersebut, Youtube menjadi platform termudah dalam ditemuinya konten kekejaman pada hewan, yaitu sebanyak 89,2% video ditemukan di sana (SMACC Report | Asia for Animals, 2021).
Laporan dari (SMACC Report | Asia for Animals, 2021) menemukan bahwa rata-rata dari video kekejaman pada hewan mendokumentasikan hewan liar yang dipelihara, kemudian beberapa kali dilecehkan di depan kamera. Tidak jarang juga ditemukan hewan-hewan kecil seperti anak kucing dibakar sembari pembuat videonya menertawai kondisi anak kucing tersebut. Kekejaman lainnya, seperti mengubur hewan, menenggelamkan hewan, pemukulan, dan siksaan psikologis juga didokumentasikan.
Mirisnya, di dalam laporan SMACC, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam kategori pembuatan dan pengunggah konten kekejaman pada hewan. Terdapat sebanyak 1.626 konten kekejaman pada hewan yang dibuat di Indonesia, dan sebanyak 1.569 konten kekejaman pada hewan diunggah dari Indonesia. Dari data tersebut, dapat dikatakan masih kurangnya edukasi mengenai isu kekerasan hewan di kalangan masyarakat Indonesia, dan hal ini tidak bisa kita remehkan, edukasi tentang lingkungan serta kesejahteraan hewan mesti kita gencarkan kembali.
Tradisi menjadi ajang mengeksploitasi hewan
Di Indonesia sendiri, tradisi yang yang melibatkan hewan masih sering ditemukan, salah satunya adalah tradisi Kerapan Sapi. Kerapan Sapi pada awalnya merupakan permainan di sawah yang dilakukan oleh para petani, yang kemudian berkembang menjadi tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur petani atas keberhasilan panen jagung dan tembakau. Lambat laun Kerapan Sapi menjadi sebuah ajang perlombaan yang menjadi tradisi masyarakat Madura (Hidayat, 2020).
Baca Juga: Dayeuhkolot dan Masalah yang Sulit Selesai di Jembatan
Kerapan Sapi mengalami pergeseran fungsi, yang pada awalnya hanya sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur oleh petani, saat ini masyarakat berlomba-lomba menjadi pemenang dalam perlombaan Kerapan Sapi. Pergeseran fungsi tradisi ini tentunya membawa dampak negatif untuk kesejahteraan hewan ternak, dalam hal ini sapi. Munculnya persaingan antara pemilik satu dengan lainnya memicu kekerasan kepada hewan dalam menjalani tradisi ini. Peserta yang mengikuti perlombaan Kerapan Sapi tidak jarang menggunakan rekeng. Rekeng merupakan alat pemukul bokong sapi yang di tiap sisinya terdapat paku kecil. Sehingga, sapi yang menjadi kendaraan para pemiliknya saat berlomba sering kali mengalami luka berat di bagian bokongnya. Selain menggunakan rekeng, ditemukan bahwa pemilik sapi juga mengoles balsam ke bagian mata sapi, sehingga sapi merasakan perih di bagian kelopak matanya (Hidayat, 2020).
Bagaimana tanggapan pemerintah?
Artikel Terkait
SINGGALANG, Kesebelasan Orang Padang di Bandung
Geotrek di Kegelapan Goa Buniayu
Geliat Pariwisata dan Ancaman Omicron di Indonesia
Riwayat Ayam Kremes: Sajian Ayam Goreng Gaya Jogjakarta, Dipelopori Mbok Berek Sejak 1830
Strategi dalam Mewujudkan Kesejahteraan Lahir dan Batin
Kecanduan Nasi
Pandemi Covid-19 Belum Berhenti, Asimilasi di Rumah Diperpanjang Lagi?
Antisipasi Pedasnya Harga Cabai
Mengatasi Stereotip Negatif pada Klien Pemasyarakatan
Dayeuhkolot dan Masalah yang Sulit Selesai di Jembatan