Filosofi dan Sejarah Rendang, Sajian Istimewa Khas Minang yang Kelezatannya Mendunia

- Minggu, 12 Desember 2021 | 12:00 WIB
Para peneliti menduga sejarah rendang telah dimulai sejak abad ke-16, dengan catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif pada awal abad ke-19. (Badiatul Muchlisin Asti)
Para peneliti menduga sejarah rendang telah dimulai sejak abad ke-16, dengan catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif pada awal abad ke-19. (Badiatul Muchlisin Asti)

Tahap akhir setelah kalio adalah menghilangkan air dari seluruh masakan dan terciptanya gumpalan dari padatan yang terdapat dalam santan kelapa yang bertekstur halus dan sangat berbumbu, cita rasanya menyerupai daging yang dimasak.

Menurut Murdijati Gardjito, dkk, itulah sebenarnya yang secara pengetahuan merupakan hasil pemanasan protein yang mengandung asam amino dan monosakarida yang terkandung dalam santan membentuk senyawa baru yang bernama melanoidin yang berwarna cokelat dan cita rasanya sedap karena bumbu dan pemanasan.

Ekstra waktu, ketelatenan, dan kesabaran merupakan ‘bumbu rahasia’ kelezatan rendang. Reaksi pembentukan rendang seperti yang dijelaskan di atas, tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat dan dengan pemanasan cepat.

Dalam buku Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015) disebutkan, bila rendang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai caramelized beef curry, maka kita pun jadi memahami definisi serta  proses pembuatan sajian istimewa ini. Prinsipnya diawali dengan membuat gulai atau kari daging sapi, yang terus dimasak dengan api kecil sampai reduced dan terjadi karamelisasi. Artinya, bila belum sampai terjadi karamelisasi, belum bisa disebut rendang. Rendang “setengah jadi” itu dikenal dengan nama kalio. Masakan kalio inilah yang di Malaysia diaku sebagai rendang.

Baca Juga: Sejarah dan Filosofi Lemper Sanden: Kudapan Legendaris Bantul dan Simbol Perekat Persaudaraan

Ragam dan variasi rendang

Sejauh ini rendang identik dengan daging sapi atau kerbau, namun sesungguhnya rendang khas Minang memiliki banyak variasi. Variasi rendang ini bukan hasil kreasi atau turunan dari rendang daging sapi atau kerbau, melainkan memang resep warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan di setiap daerah di Minang memiliki ciri khas masing-masing.

William Wongso menyebutkan bahwa masyarakat Sumatra Barat memiliki lebih dari 150 variasi rendang. Setiap daerah memiliki versinya sendiri. Persamaannya adalah penampilannya yang seolah hangus. Sumatra Barat membuat rendang dari daging kerbau selama delapan jam sampai sembilan jam, namun sekarang daging sapi lebih umum dipakai.

Beberapa ragam dan variasi rendang antara lain rendang pensi khas Danau Maninjau. Maninjau terdapat di pesisir pulau Sumatra dan karena daerah ini dekat dengan pantai, hasil laut dijadikan olahan makanan sehari-hari. Pensi adalah sejenis kerang yang berukuran cukup kecil, ketika diolah menjadi rendang, kulit dari kerang disisihkan hingga menyisakan dagingnya saja.

Rendang pensi biasanya menggunakan tambahan lain yaitu daun pakis yang diolah lebih kering dan tidak terlalu hitam. Terkadang rendang pensi diberi tambahan kelapa parut ke dalam kuah santan.

Baca Juga: Sejarah Sayur Lodeh, Masakan Jawa Sejak Abad 10 dan Mitos Penangkal Wabah

Ada lagi rendang lokan khas Painan. Lokan adalah kerang dengan cangkang cukup besar dan berasal dari muara sungai. Ada lagi rendang baluik alias rendang belut khas Batusangka. Rendang itiak alias rendang itik dan rendang jariang alias rendang jengkol, keduanya  khas Bukittinggi.

Daerah Payakumbuh adalah daerah penghasil kreasi rendang paling banyak. Salah satunya yang cukup unik adalah rendang daun kayu. Sesuai namanya, rendang ini terbuat dari dedaunan yang tumbuh di sekitar rumah. Daun yang digunakan antara lain daun pucuk surian, daun jurak, daun mali-mali, daun rambai, dan sebagainya.

Rendang Payakumbuh lainnya adalah rendang runtiah, yaitu rendang daging sapi yang disuwir-suwir. Lalu rendang tumbuak atau rendang bulek, yaitu rendang khas Payakumbuh yang daging sapinya dicincang, dibumbui, dan dicampur dengan kelapa gongseng yang sudah ditumbuk, setelah itu dibulatkan seperti bakso.

Banyak variasi dan ragam rendang lainnya, seperti rendang talua (terbuat dari telur), randang cubadak (terbuat dari buang nangka muda), rendang baluik (terbuat dari belut) khas Batusangka, rendang itiak (terbuat dari itik) dan rendang jariang (terbuat dari jengkol) khas Bukittinggi, dan banyak lagi.

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Relasi Sipil-Militer dan Demokratisasi di Indonesia

Rabu, 27 September 2023 | 11:56 WIB

Etika Berbahasa di Media Sosial

Selasa, 26 September 2023 | 12:01 WIB

Siapakah (Calon) Presiden yang Terbaik?

Minggu, 24 September 2023 | 18:21 WIB

Proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung), untuk Siapa?

Jumat, 22 September 2023 | 17:47 WIB

Industriawan Militer Menjadi Penghambat Perdamaian!

Kamis, 21 September 2023 | 12:05 WIB

Generasi Z dan Pelaksanaan Profil Pelajar Pancasila

Minggu, 10 September 2023 | 17:49 WIB

Mengintip Bioskop Zaman Baheula di Bandung

Minggu, 10 September 2023 | 15:32 WIB

Mau Sampai Kapan Kita Bergantung pada TPA Sarimukti?

Kamis, 7 September 2023 | 16:16 WIB

Pemimpin Baru Menghadapi Situasi yang Tidak Nyaman

Rabu, 6 September 2023 | 11:27 WIB
X