Versi ketiga, yang juga populer di masyarakat Pekalongan, nasi megono masyhur pula dengan sebutan “nasi tentara”. Itu karena nasi megono pernah juga jadi bekal atau ransum para tentara saat perang melawan agresi militer Belanda. Situasi yang serba sulit dan keterbatasan bahan pangan saat situasi perang, masyarakat harus berpikir cepat menyediakan ransum bagi tentara rakyat ini.
Baca Juga: Pindang Serani: Sajian Sup Ikan Laut dari Jepara, Berawal dari Bekal Nelayan Melaut
Nasi megono diolah dari nangka muda atau disebut oleh warga sekitar Pekalongan sebagai “cecek” yang dipadu dengan makanan urapan seperti kacang-kacangan dan sayuran. Warga setempat menambahkan nangka muda yang dicincang halus untuk menciptakan cita rasa gurih. Saat itu, nasi megono jadi menu bagi tentara republik yang melakukan perang gerilya. Dari sinilah, megono tercipta khas, menemani setiap tentara gerilya berperang untuk melawan penjajah.
Kata Megono sendiri berasal dari bahasa Jawa mergo yang artinya sebab, dan ono yang artinya ada. Entah versi mana yang benar, namun diyakini, kuliner nasi megono sudah ada sejak sebelum perang kemerdekaan. Boleh jadi, ketiga versi tersebut benar semua. Nasi megono sudah ada sejak Mataram Kuno, lalu berlanjut pada masa Mataram Islam, hingga jadi ransum tentara di era kemerdekaan, lalu kini jadi menu di pelbagai warung makan dan restoran di sentero Pekalongan dan daerah Pantura lainnya. Walahu a’lam. [*]
Konten ini dibuat oleh Badiatul Muchlisin Asti
Pegiat literasi, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat kuliner tradisional Indonesia
Isi konten merupakan tanggung jawab penulis
Artikel Terkait
Pemimpin Masa Depan Bicara di Forum Dialog IISS
Wingko Babat, Kudapan Legit dari Lamongan yang Jadi Oleh-Oleh Khas Semarang
Demam Belanja Online Berkedok Self Healing
Permendikbud 30: Jawaban atas Maraknya Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Ketahanan Keluarga Kian Rapuh, Sistem Islam Mewujudkan Keluarga Tangguh
Pindang Serani: Sajian Sup Ikan Laut dari Jepara, Berawal dari Bekal Nelayan Melaut
Waspada Rob dan Banjir Bebatuan di Lereng Gunung, Siaga Akhir hingga Awal Tahun
Christiaan Johannes Brookman: Presiden LUNO dan Pilar SIDOLIG
Gudeg: Ikon Kuliner Jogjakarta, Kreasi Prajurit Mataram dan Simbol Perlawanan
Diversifikasi Prestasi Olahraga Nasional