Namun demikian, dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, terdapat reaksi penolakan oleh ormas-ormas keagamaan yang meminta pencabutan atau revisi sebab beberapa faktor, yaitu: (1) Adanya multitafsir dalam frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat dalam pasal 5 ayat 2 huruf L dan M.
Dikatakan bahwa, “apakah jika korban setuju dan atas dasar suka sama suka maka hal tersebut diperbolehkan?” yang juga dimaknai sebagai “melegalkan seks bebas/zina” karena atas dasar persetujuan (consent), serta dianggap membuka jalan kepada perilaku seks bebas dan LGBT di Indonesia, (2) Dianggap sebagai pertentangan dengan norma kesusilaan, norma agama, dan Pancasila, dan (3) Tidak dilibatkannya ormas keagamaan (di sini disebut sebagai ulama) dalam proses pembuatan peraturan tersebut.
Menurut kabar yang beredar, penolakan nomor 1 ialah, frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditafsirkan sebagai mendukung adanya seks bebas dan LGBT ini seperti keluar dari inti tujuan dari dibentuknya peraturan ini yaitu fokus pada pemulihan hak-hak korban kekerasan Seksual. Permendikbud 30 memang tidak secara eksplisit, namun bukan berarti seks bebas/zina dan LGBT ini disetujui, dilegalkan, atau didukung.
Merujuk pada pendapat Nadiem yaitu, inti permasalahan dalam peraturan ini adalah kekerasan seksual, definisi dari kekerasan seksual itu adalah “secara paksa”, “secara paksa” artinya adalah “tanpa persetujuan”. Oleh karena itu, terdapat batasan untuk menentukan mana kekerasan seksual dan bukan, ini menjadi penting dengan adanya kata tersebut.
Baca Juga: Peran Psikolog Forensik dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Jika diibaratkan sebagai peringatan, maka argumen penolakan tersebut contohnya akan begini, terdapat papan peringatan yang menyatakan bahwa “jangan kencing disini!”, lalu ada orang yang salah menafsirkan kata tersebut menjadi, “jadi, boleh buang air besar di sini?”. Logika itu cukup mencontohkan tafsiran yang menyimpang dari tujuan pembentukan peraturan ini.
Mengenai argumen “suka sama suka”, ini jelas tidak terdapat pada peraturan tersebut karena fokusnya hanya pada kekerasan seksual. Untuk peraturan yang mengatur dasar “suka sama suka” atau zina, di Indonesia sudah terdapat KUHP yang mengatur tindak pidana seks bebas/zina dan LGBT, yaitu terdapat pada pasal 284 dan 292, namun pada pasal 284 masih khusus kepada yang sudah menikah contohnya dengan adanya perselingkuhan. Maka dari itu, secara eksplisit tidak ada pelegalan seks bebas sebab memang bukan ranahnya untuk dibahas.
Pendapat kedua sendiri dibantah oleh Nadiem yang menghubungkan tujuan merdeka belajar yaitu program kebijakan baru Kemendikbud RI yang ia buat. Nadiem menyatakan bahwa tujuan merdeka belajar adalah “profil pelajaran Pancasila”.
Profil pertama yaitu keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia, yang kedua adalah kebhinekaan. Oleh karena dua hal tersebut merupakan dua hal pertama dalam “profil pelajaran Pancasila”, maka Permendikbud 30 ini sebagai hasil daripada asas yaitu akhlak mulia untuk melindungi dalam setiap institusi pendidikan.
Baca Juga: Muncul Korban Baru Kekerasan Seksual Ayah Taqy Malik, Tak Ada Hubungan Pernikahan
Artikel Terkait
Pahlawan Big Data di Tengah Pandemi
Risalah Untuk Calon Suamiku
Hikayat Wedang Uwuh: Minuman Favorit Sultan dan Ikon Jogjakarta
Mendidik dengan Sepenuh Hati
Joki Tugas, Rahasia Umum di Masyarakat
Permendikbud Ristek Nomor 30: Mengapa Frasa 'Tanpa Persetujuan Korban' Dimaknai 'Melegalkan Seks Bebas'?
Villa Isola: Venesia Kecil di Bandung Utara
Pemimpin Masa Depan Bicara di Forum Dialog IISS
Wingko Babat, Kudapan Legit dari Lamongan yang Jadi Oleh-Oleh Khas Semarang
Demam Belanja Online Berkedok Self Healing