Permendikbud Ristek Nomor 30: Mengapa Frasa 'Tanpa Persetujuan Korban' Dimaknai 'Melegalkan Seks Bebas'?

- Senin, 22 November 2021 | 08:48 WIB
Terbitnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia memicu kontroversi. ( Indypendent/Naomi Ushiyama (CC))
Terbitnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia memicu kontroversi. ( Indypendent/Naomi Ushiyama (CC))

Terbitnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia memicu kontroversi.

Sebagian pihak mendukung, sebagian lagi menolak. Frasa “tanpa persetujuan korban” yang menjadi inti dari konsep kekerasan seksual ini malah dipermasalahkan.

Penolakan muncul dari beberapa pihak, contohnya adalah Muhammadiyah dan Partai PKS seperti yang diberitakan pada tvonenews.com Selasa (9 November 2021) dan news.detik.com Kamis (11 November 2021).

Muhammadiyah menolak Permendikbud Nomor 30 karena dikhawatirkan akan memicu perilaku seks bebas atau melegalkan zina yang sudah jelas dilarang dalam ajaran islam. Dilansir dari tvonenews.com Sekretaris Majelis Diktilitbang Muhammadiyah, Muhammad Sayuti dalam wawancaranya dengan jelas menolak frasa “tanpa persetujuan korban” pada pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30.

Menurutnya, frasa tersebut jika dipahami secara kebalikan yaitu adanya “persetujuan”, maka akan menimbulkan aktivitas seksual yang haram, dengan demikian Permendikbud dianggap melegalkan zina jika disetujui bersama atau didasari suka sama suka. Dia mengkhawatirkan dengan adanya frasa tersebut maka akan dijadikan alasan untuk membolehkan seks bebas.

Pada tahun 2019 PKS menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekeran Seksual (RUU P-KS) dan kini turut mengambil langkah serupa yaitu dengan mengkritik Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. Dilansir pada news.detik.com Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyampaikan kritiknya terhadap Permendikbud Nomor 30 ini karena dianggap melegalkan zina. Lewat akun twitter @MardaniAliSera, Mardani menyampaikan dirinya anti kekerasan seksual namun tidak menoleransi kebebasan seksual. Menurutnya dengan adanya Permendikbud ini akan bisa melegalkan seks bebas di lingkungan Perguruan Tinggi dan berpotensi merusak norma kesusilaan.

Dari 2 contoh kecil dari penolakan terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut saya sangat menyayangkan mengapa publik lebih mempermasalahkan frasa “tanpa peresetujuan korban” dianggap akan berdampak melegalkan seks bebas daripada fokus kepada bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Melegalkan seks bebas sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu melegalkan dan seks bebas. Melegalkan berasal dari kata legal yang menurut KBBI artinya sesuai dengan peraturan perundangan-undangan atau hukum, dan lawan katanya adalah ilegal yang artinya tidak menurut hukum. Maka melegalkan dapat disimpulkan adalah menjadikan sesuatu yang ilegal menjadi legal. Kemudian unsur yang kedua yaitu seks bebas, seks bebas adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang sudah desawa atas dasar suka sama suka yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan).

Lalu dari pengertian dua unsur tersebut, apakah seks bebas adalah sesuatu yang ilegal? Sedangkan selama ini hukum di Indonesia yang mengatur tentang perbuatan zina yang bisa dipidana hanya mensyaratkan adanya ikatan perkawinan, yaitu hubungan seksual seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki yang bukan suaminya, yang diatur dipasal 284 KUHP. Dengan demikian sudah jelas, bahwa hubungan seksual antara orang dewasa atas dasar suka sama suka bukan sesuatu yang tidak dapat dilegalkan karena memang bukan sesuatu yang ilegal.

Sekitar tahun 2017-2018 juga sudah timbul kontroversi mengenai perluasan Pasal Zina RKHUP. Salah satu perluasan pasalnya adalah meregulasi zina, yang diatur pada pasal 484 ayat (1) huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR pada 10 Januari 2018 yang berisikan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan hubungan seksual dikategorikan sebagai pelanggaran dan dapat dipidana. Penambahan pasal ini tentunya memicu pro dan kontra. Banyak pihak yang mengkritik pasal tersebut karena dianggap rentan melanggar dan mengkriminalisasi hak-hak privat warga negara. Hal yang seharusnya dapat diselesaikan secara privat namun justru mendapat sanksi negara. Akhirnya pun pasal perluasan zina tersebut ditolak.

Kemudian secara hukum pun tindakan yang dapat dipidana adalah dengan adanya korban. Apabila hubungan seksual atas dasar suka sama suka dan bukan dalam bentuk pemaksaan/pemerkosaan/kekerasan seksual dianggap sebagai sesuatu yang harus dipidana, lalu siapa korbannya? Siapa yang dirugikan? Ketentuan tersebut-lah yang justru akan memperumit tatanan hukum pidana.

Kembali kepada frasa “tanpa persetujuan korban”. Frasa tersebut sesungguhnya adalah upaya untuk menolak stereotip yang beredar dalam masyarakat bahwa korban turut andil terhadap peristiwa kekerasan seksual. Seperti yang kita tahu bahwa kebanyakan reaksi masyarakat terhadap korban kekerasan seksual adalah menyalahkan korban dengan segala asumsinya.

Contohnya jika korban memakai pakaian minim maka masyarakat akan menyalahkan korban mengapa ia memakai pakaian minim yang berdampak mengundang seseorang untuk melecehkannya, jika korban mendapatkan pelecehan seksual saat berjalan sendiri di malam hari maka akan dituduh pelecehan yang ia alami adalah akibat dari pulang sendiri malam-malam, jika korban berdandan maka dianggap setuju untuk dilecehkan, jika korban baru mengadu kepada pihak yang berwajib setelah beberapa bulan maka akan dianggap bahwa korban juga setuju dengan aktivitas seksual tersebut karena baru mengadu setelah beberapa lama kemudian.

Baca Juga: Dede Yusuf Dorong Revisi Permendikbud 30 Tahun 2021: Cari Bahasa Lain yang Baik!

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Relasi Sipil-Militer dan Demokratisasi di Indonesia

Rabu, 27 September 2023 | 11:56 WIB

Etika Berbahasa di Media Sosial

Selasa, 26 September 2023 | 12:01 WIB

Siapakah (Calon) Presiden yang Terbaik?

Minggu, 24 September 2023 | 18:21 WIB

Proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta Bandung), untuk Siapa?

Jumat, 22 September 2023 | 17:47 WIB

Industriawan Militer Menjadi Penghambat Perdamaian!

Kamis, 21 September 2023 | 12:05 WIB

Generasi Z dan Pelaksanaan Profil Pelajar Pancasila

Minggu, 10 September 2023 | 17:49 WIB

Mengintip Bioskop Zaman Baheula di Bandung

Minggu, 10 September 2023 | 15:32 WIB

Mau Sampai Kapan Kita Bergantung pada TPA Sarimukti?

Kamis, 7 September 2023 | 16:16 WIB

Pemimpin Baru Menghadapi Situasi yang Tidak Nyaman

Rabu, 6 September 2023 | 11:27 WIB
X