Sering kita terjebak dengan makna kata “kemerdekaan”. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, arti kata ini menjadi sakral hanya pada bulan Agustus.
Tetapi kalau kita mau jujur, kata ini tidak mengenal dimensi waktu. Pernahkah kita berpikir, apakah semua orang di negeri ini sudah menikmati arti kemerdekaan!?
Hal sederhana dalam konteks lokal, adalah kita sering lupa “memerdekakan pikiran” kita sendiri. Terkungkung dalam kebebasan maya, yang mengekang sumber ide-ide kreatif karena sangat bergantung pada media komunikasi yang berbasis jaringan internet.
Bayangkan, betapa banyak isu-isu sosial yang terbungkus hoaks, menjadi konsumsi nalar kita.
Untuk menghubungkan judul di atas, penulis mencoba mengamati film “Denias, Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari”. Sebuah sinema yang berlatar-belakang Tanah Papua. Penulis sadar, tidak sepenuhnya bisa menangkap karakter sinema tersebut.
Film yang mengangkat peradaban maju Suku Papua. Seketika itu terlintas dalam pikiran penulis, di sebuah pedalaman papua, ada yang melaksanakan peringatan HUT Kemerdekaan dengan mengibarkan sang saka Merah-Putih menggunakan pakaian adat papua (baca: dengan koteka).
Hal semacam ini, jika kita berbicara tentang adat-istiadat, maka dalam konteks kacamata budaya, bukanlah sebuah keanehan atau sebuah kisah jenaka yang harus dipertentangkan dalam debat publik. Sangat tidak mungkin kita meninggalkan esensi budaya.
Ini menjadi rekam jejak peradaban, yang kenyataannya memang harus kita lestarikan.
Persoalan yang sering kita hadapi, karena kita belum mampu untuk menerima perbedaan etnis dan/atau rasisme, hingga seakan rasa nasionalisme itu hanya menjadi milik “kelompok modernisasi”.
Dalam sinema “Denias, Senandung di Atas Awan” dan “Di Timur Matahari” adalah sebuah epilog catatan budaya, dimana konteks bahasa memiliki begitu banyak frasa yang belum kita pelajari, dari satu-kesatuan bangsa ini.
Baca Juga: Sherlock Holmes Hindia Belanda, Beraksi di Tjimahi Tempo Doeloe
Di sini, penulis menghindari dan tidak berusaha menjadi seorang kritikus, apalagi membandingkan rasa nasionalisme itu dengan sebuah cerita.
Bagaimanapun, sebuah sinema menurut sudut pandang penulis, adalah objek fiksi untuk memerdekakan pikiran penulis cerita ataupun sutradara.
Perbedaan sudut pandang untuk memaknai sebuah subjek dalam bingkai budaya, tentunya akan melahirkan warna bagi siklus budaya kita.
Artikel Terkait
Misteri Perang Bubat: Bujangga Manik Ngalalar ka Bubat
Sanghyang Heuleut, Danau Pemandian Bidadari
Misteri Perang Bubat: Hanya Bersumber pada Naskah Terbatas
Misi Utusan Kesultanan Banten kepada Raja Inggris Tahun 1682: Untuk Pembelian Kesenjataan
Film Squid Game dari Kacamata Sosiologi: Teori Kerumunan dan Kepanikan Massal
Evergrande CS Membuat China Bangkrut?
Sherlock Holmes Hindia Belanda, Beraksi di Tjimahi Tempo Doeloe
Kesenjangan Antara Masjid dan Toiletnya
Misteri Perang Bubat: Kolofon Naskah Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Pararaton & Tatwa Sunda
Strategi Bisnis Membangun Loyalitas Pelanggan Jangka Panjang