Pada bagian Rajah Pamuka (Kata Pengantar) buku tersebut di sana disebutkan bahwa Atja telah mengumpulkan naskah-naskah karya Pangeran Wangsakerta sejak awal tahun tujuh puluhan, kemudian Ayatrohaedi turut serta untuk menelitinya yang kerapkali menyajikan hasil-hasil penelitiannya itu ke dalam tulisan populer di media massa.
Hal itu dikarenakan isi dari naskah-naskah Wangsakerta sangat penting dan bermanfaat terutama untuk menjelaskan berbagai peristiwa sejarah yang masih gelap gulita.
Hanya saja naskah-naskah Pangeran Wangsakerta itu diragukan beberapa pihak yang menurut Ayatrohaedi di dalam buku itu, alasannya dijelaskan pada halaman 19 yaitu:
- Terlampau bersifat sejarah untuk masyarakat kita 300 tahun yang lalu dan tidak umum seperti yang biasa keluar saat itu (babad, kidung, tambo, hikayat).
- Dalam bagian-bagian tertentu ada petunjuk yang kuat bahwa si penyusun naskah telah membaca tulisan-tulisan J.G. de Casparis, N.J. Krom dan Eugene Dubois dll., dan kandungan naskah itu tepat seperti para sarjana barat itu.
- Belum diuji kondisi jasadnya (kertas, tinta, bentuk aksara) serta tetap terbuka bahwa naskah itu merupakan naskah ‘baru’.
Naskah-naskah Wangsakerta tersebut beberapa berhasil dialihaksarakan dan diterjemahkan hanya saja kemudian dari keraguan yang telah dijelaskan oleh Ayatrohaedi tersebut berubah menjadi polemik di kalangan para pakar.
Polemik tersebut tersaji dengan jelas pada buku yang ke-dua yaitu yang berjudul Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta terbitan Pustaka Jaya tahun 2005 di Bandung yang disusun oleh Edi S. Ekadjati. Di sana para pakar (filologi, arkeologi, sejarah dan budaya) yang berpolemik tersebut bereaksi dan menuliskan hasil pemikirannya terkait naskah-naskah Pangeran Wangsakerta tersebut. Selain itu ada pula hasil reportase dari media massa.
Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Kemudian berdasarkan artikel Laporan Khusus wawancara Mangle dengan Dr. Edi S. Ekadjati (dimuat di dalam buku tersebut pada hal.294-297) sebetulnya telah ada usaha untuk jalan tengah terhadap polemik tersebut yaitu membuat sebuah tim peneliti untuk melakukan penelitian filologi lanjutan yang sebelumnya pernah dilakukan dalam proyek penelitian Sundanologi (belum masuk ke arah penelitian sejarah) untuk membuktikan kesahihan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta tersebut.
Usaha itu adalah dibentuknya Tim Peneliti YPJB (Yayasan Pembangunan Jawa Barat) yang telah bekerja menyelesaikan 15 naskah. Tapi karena satu dan lain hal yang sangat kompleks, penelitian tersebut dihentikan.
Terlepas dari polemik tersebut, tugas penulis di sini hanya fokus terhadap menginformasikan bahwa ada naskah selain Carita Parahiyangan, Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Tatwa Sunda, yaitu naskah-naskah karya Pangeran Wangsakerta yang membahas peristiwa di Bubat tersebut, untuk memenuhi kaidah heuristik (mengumpulkan sumber-sumber sebanyak mungkin). Masalah keabsahan naskah-naskah tersebut mungkin itu menjadi tugas para filolog untuk melanjutkan penelitian Tim YPBJ tersebut.
Informasi terkait naskah Pangeran Wangsakerta yang mengandung peristiwa Bubat berdasarkan buku Sundakala karya Ayatrohaedi tersebut dapat dilihat pada halaman 125 yaitu data mengenai raja-raja Kerajaan Sunda, di sana terdapat salah satunya keterangan terkait Sang Aki Kolot atau Sang Prabhu Ragamulya Luhurprabhawa yang digantikan kedudukannya sebagai raja oleh Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa atau Sang Mokteng Bubat ‘Yang meninggal di Bubat’. Kemudian dijelaskan pada halaman 127 bahwa keterangan itu ada di dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa 2 sargah 4.
Kemudian berdasarkan buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta hal 76, diinformasikan bahwa peristiwa Bubat ada di dalam naskah Negara Kertabhumi I.5.
Selain itu kemudian penulis mendapatkan file digital salah satu naskah Pangeran Wangsakerta (unduh di sini) yang di sana terdapat informasi terkait hubungan Kerajaan Sunda-Kerajaan Wilwatikta yang dirusak oleh Gajah Mada. Informasi ini ada di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa 2 sargah 3 yang telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Mamat Ruhimat pada tahun 2009 yang diterbitkan oleh Balai Pengengelolaan Museum Sribaduga. Pada halaman 41-42 (halaman file) terdapat informasi:
rājya sunda lawa-
n rājya wilwatikta
nityasa hatut madu-
lur/ tan hana panyatrwa-
Artikel Terkait
Merdeka Belajar dan Kemerdekaan Berpikir
PM Fumio Kishida akan Prioritaskan Hubungan Kemaritiman dengan Indonesia
5V Big Data, Apa Itu?
Mengejar Angan Fiksi para Komikus
6 Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com September 2021, Total Hadiah Rp1,5 Juta!
Klub SS dari Jawatan Kereta Api
Nikah Siri dan Gunjingan Julid Warganet
Menghitung Hari-Hari Terakhir Robert Alberts di Persib
Misteri Perang Bubat: Bujangga Manik Ngalalar ka Bubat
Sanghyang Heuleut, Danau Pemandian Bidadari