Sumber-sumber terkait Perang Bubat hanyalah terbatas pada sumber yang berupa naskah atau manuscript dan tidak ada berdasarkan prasasti.
Pada tulisan sebelumnya (cek di sini) penulis telah mengupas sebuah hal menarik terkait Bujangga Manik yang tidak membahas peristiwa Bubat saat lewat ke wilayah Bubat.
Kemudian pada bagian ke-dua ini penulis akan membahas mengenai informasi terkait naskah-naskah apa saja yang membahas Pasuṇḍa-Bubat.
Informasi naskah-naskah tersebut akan penulis sajikan yang pertama adalah naskah-naskah Peristiwa Bubat menurut tokoh ahli epigrafi sekaligus arkeolog senior yaitu Dr. Hasan Djafar.
Kemudian setelah itu adalah informasi mengenai naskah-naskah karya Pangeran Wangsakerta yang mengandung informasi terkait Perang Bubat berdasarkan buku Sundakala karya Ayatrohaedi, kemudian buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta yang disusun oleh Edi S. Ekadjati, serta buku Yuganing Rajakawasa karya Drs. Yoseph Iskandar.
Naskah-naskah Perang Bubat menurut Dr. Hasan Djafar
Berdasarkan makalah yang ditulis oleh Dr. Hasan Djafar dengan judul Perang Bubat (Pasuṇḍa-Bubat) Sumber dan Permasalahan di Sekitarnya yang disajikan di dalam Seminar Nasional “Pasuṇḍa-Bubat” di Bandung tanggal 27 Maret 2014, sumber-sumber terkait Perang Bubat hanyalah terbatas pada sumber yang berupa naskah atau manuscript sementara berdasarkan prasasti tidak ada (dari sekian banyak prasasti tidak ada yang menyebutkan apalagi yang menguraikannya).
Kemudian, masih di dalam makalah tersebut, Dr. Hasan Djafar menyebutkan pula naskah-naskah yang mengandung kabar terkait peristiwa tersebut yaitu ada di dalam empat kelompok naskah di antaranya yaitu Kidung Sunda atau Kidung Sundayana, Tatwa Sunda, Serat Pararaton, dan Carita Parahiyangan.
Untuk naskah Kidung Sunda telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh C.C. Berg. Kemudian Kidung Sundayana (Kidung Sunda C) hanya berupa alih aksara saja beserta catatan-catatan, yang juga bukunya masih dikarang oleh C.C. Berg.
Kemudian terkait Pararaton, hasil alih aksara dan terjemahan Pararaton tersebut ke dalam bahasa Belanda dilakukan oleh J.L.A. Brandes, sementara ke dalam bahasa Indonesia oleh R. Pitono. Kemudian terkait Carita Parahiyangan pertama kali diteliti oleh Holle, kemudian dilanjutkan oleh Pleyte, Poerbatjaraka, Noorduyn dan Atja. Menurut Atja, berdasarkan makalah Dr. Hasan Djafar itu, naskah Carita Parahyangan adalah unicum yang diperkirakan ditulis pada abad ke-16. Tapi selain itu terdapat pula naskah Carita Parahiyangan yang tidak lengkap dan berupa fragmen-fragmen, yang telah digarap oleh Edi S. Ekajati dan Undang Ahmad Darsa.
Terakhir untuk Tatwa Sunda, informasi yang ada sangat sedikit, dan hanya ada di dalam buku katalog naskah yang telah disusun oleh Pigeaud saja. Sementara naskahnya menurut Dr. Hasan Djafar ada di Leiden sebanyak dua naskah.
Naskah-naskah Pangeran Wangsakerta
Selain dari naskah-naskah yang telah diinformasikan oleh Dr. Hasan Djafar, penulis kemudian mendapatkan informasi keberadaan naskah-naskah lainnya terkait Perang Bubat ini dari tiga buku. Ketiga buku tersebut menyebutkan bahwa peristiwa Bubat ada juga di dalam naskah-naskah Pangeran Wangsakerta.
Buku yang menginformasikan terkait naskah-naskah Pangeran Wangsakerta yang pertama adalah buku Sundakala karangan Ayatrohaedi yang diterbitkan di Bandung tahun 2005 oleh penerbit Pustaka Jaya.
Artikel Terkait
Merdeka Belajar dan Kemerdekaan Berpikir
PM Fumio Kishida akan Prioritaskan Hubungan Kemaritiman dengan Indonesia
5V Big Data, Apa Itu?
Mengejar Angan Fiksi para Komikus
6 Tulisan Terpopuler Netizen Ayobandung.com September 2021, Total Hadiah Rp1,5 Juta!
Klub SS dari Jawatan Kereta Api
Nikah Siri dan Gunjingan Julid Warganet
Menghitung Hari-Hari Terakhir Robert Alberts di Persib
Misteri Perang Bubat: Bujangga Manik Ngalalar ka Bubat
Sanghyang Heuleut, Danau Pemandian Bidadari