Berantas Aksi Jahat Pembajakan Buku!

- Rabu, 15 September 2021 | 22:39 WIB
[Ilustrasi buku] Praktik pembajakan buku semakin menggurita dan pendapatannya sangat fantastis. Para penerbit dan penulis hanya menanggung kerugian. (Pixabay/Free-Photos)
[Ilustrasi buku] Praktik pembajakan buku semakin menggurita dan pendapatannya sangat fantastis. Para penerbit dan penulis hanya menanggung kerugian. (Pixabay/Free-Photos)

Praktik pembajakan buku semakin menggurita dan pendapatannya sangat fantastis. Para penerbit dan penulis hanya menanggung kerugian.

Beberapa tahun lalu, Tere Liye, salah seorang penulis novel best seller di Tanah Air,  memberikan pernyataan mengejutkan bahwa, dia akan menarik semua novelnya dari dua penerbit besar yang telah menerbitkan karya-karyanya.

Pernyataan tersebut diduga sebagai salah satu kritik pada pemerintah tentang pajak buku yang cukup besar (30% jika tidak punya NPWP, dan 15% jika memiliki NPWP). Menurut penulis bernama asli Darwis, hal itu tidak fair karena royalti yang didapat penulis biasanya hanya 10% dari harga jual buku

Baru-baru ini, penulis novel Hafalan Shalat Delisa tersebut kembali menyentil para pembajak dan penjual buku-buku bajakan yang banyak bertebaran di sejumlah marketplace raksasa di negeri ini. Bahkan, Tere Liye langsung menghubungi pihak marketplace agar menghapus semua buku-buku bajakan di sejumlah toko buku yang menjual bajakan tersebut.

Apa yang dilakukan Tere Liye menuai pro dan kontra. Pihak-pihak yang kontra datang dari para pembeli buku bajakan itu sendiri. Mereka dengan gamblang menyatakan agar penulis bersikap ikhlas, meskipun buku-bukunya dibajak. “Kalau nggak ingin dibajak, nggak usah nulis buku. Atau, ikhlaskan saja biar dapat pahala.” begitu komentar yang kontra terhadap pernyataan Tere Liye. Sebuah komentar yang membuat geleng-geleng kepala.

Pernyataan Tere Liye juga mendapatkan dukungan dari para penerbit dan penulis yang selama ini dirugikan dengan aksi pembajakan buku yang belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Praktik pembajakan buku semakin menggurita dan pendapatannya sangat fantastis. Betapa tidak. Tanpa perlu banyak modal, para pembajak bisa hidup makmur karena yang mereka jual adalah buku “curian” yang tak perlu membayar tenaga kreatif. Sementara, penerbit butuh banyak tenaga kreatif sebelum buku-buku itu sampai ke tangan pembaca.

Selain penulis buku—yang dibayar dengan sistem royalti atau beli putus—penerbit juga perlu membayar editor, tim pracetak, layouter, ilustrator, dan harus berbagi rabat dengan agen-agen toko buku atau jaringan toko besar semacam Gramedia atau Toga Mas.

Buku Best Seller yang Bikin Ngiler

Bambang Trim, salah seorang praktisi perbukuan Indonesia menyatakan, setiap bulan ada sekitar 2600 judul buku yang masuk ke toko buku-toko buku. Bisa kita bayangkan, bagaimana ketatnya persaingan bisnis di dunia penerbitan buku ini. Sehingga, para penerbit harus bekerja ekstra jika ingin buku-bukunya sukses di pasaran. Terutama bagi penerbit pendatang baru yang belum memiliki jaringan toko buku yang luas. Hal itu penting dilakukan agar dapur penerbit terus “mengepul”, sehingga kembali menerbitkan buku-buku yang lain.

Buku-buku best seller bukan hanya menghadirkan kepuasan batin bagi para penulis, tapi secara finansial juga cukup menggiurkan, jika kerja sama dengan penerbit dengan sistem royalti. Berbeda dengan sistem beli putus (lump sum), dengan sistem royalti penulis akan terus mendapatkan bayaran selama bukunya masih dijual dan berkali-kali cetak ulang. Sementara sistem beli putus, karya penulis dibeli dengan harga tertentu untuk jangka selamanya, kendatipun bukunya mengalami cetak ulang.

Hadirnya buku-buku best seller ternyata juga membuat “ngiler” para pembajak buku untuk “men-photocopybuku-buku yang sukses di pasaran tersebut. Dengan harga yang jauh lebih murah (meskipun kualitas bukunya jelek), buku-buku bajakan ini banyak diburu oleh konsumen yang ingin “menghemat anggaran” untuk membeli buku. Buku-buku bajakan ini biasanya dengan mudah ditemui di pasar-pasar loak dekat terminal atau stasiun kereta api. Karena, memang mustahil buku-buku tersebut untuk dipasarkan ke jaringan toko buku-toko buku besar.

Di sinilah potret buram dunia pembajakan buku di negeri ini. Di saat banyak perusahaan yang membangun penerbitan secara legal—bahkan ada yang gulung tikar di masa pandemi Covid-19—mereka,  para pembajak buku itu dengan mudahnya mencetak buku tanpa mengantongi izin penerbit maupun penulis.

Secara hukum, memang sudah ada undang-undang hak cipta yang dicantumkan di setiap buku yang diterbitkan. Tapi, siapa yang peduli? Toh, mereka tetap eksis dengan bisnis buku bajakan yang mereka jalankan. Tanpa perlu mengeluarkan modal yang banyak, keuntungan terus mengalir selama buku yang mereka bajak masih laku di pasaran.

Berantas Praktik Pembajakan Buku

Halaman:

Editor: Aris Abdulsalam

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB

Situ Lembang Danau Kaldera Gunung Sunda

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:50 WIB

Bahagiakan Dirimu dengan Membahagiakan Orang Lain

Kamis, 16 Maret 2023 | 14:55 WIB

Demi Sebuah Konten, Agama pun Digadaikan

Senin, 13 Maret 2023 | 15:32 WIB
X