Oleh T Bachtiar*
DARI PUNCAK Gunung Burangrang, Situ Lembang terlihat dalam belitan kabut. Sesekali tersingkap memperlihatkan kemegahannya. Situ Lembang di hulu Ci Mahi inilah situ yang pernah dijelajahi oleh Pieter Johannes Veth.
Bila menelusuri buku karyanya yang berjudul Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch, terbit tahun 1882, pastilah tuan Pieter menjelajahi kawasan ini sebelum bukunya terbit.
Pieter Johannes Veth, dengan sangat baik mengisahkan keadaan lingkungan Situ Lembang tahun 1880-an dalam bukunya selama perjalannya di Cekungan Bandung. Pieter menulis, “Kami pertama kali melewati bagian barat dataran Bandung menuju Cimahi, ibu kota Cilokotot. Nama tempat ini diambil dari nama sungai, Ci Mahi, anak sungai Ci Tarum, yang berhulu di Gunung Tangkubanparahu. Pada mulanya kami mengambil jalur di punggungan Gunung Burangrang yang tajam. Di tengah lembah ini melebar ke Danau Lembang - Ci Mahi yang indah. Danau ini sering didatangi badak dan banteng, serta dimeriahkan ratusan unggas air. Di paras danau yang jernih dan tenang, puncak Gunung Burangrang bercermin.”
Catatan Pieter Johannes Veth dalam bukunya ini menjadi bukti, bahwa Situ Lembang merupakan situ alami, bukan situ buatan. Inilah danau kaldera, danau yang berada di dasar kaldera sisi utara Gunung Sunda.
Baca Juga: Kapan Waktu yang Tepat Untuk Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan? Berikut Tata Cara dan Bacaan Doanya
kaldera itu kawah yang garis tengah sama atau lebih dari dua kilo meter. Sedangkan kaldera Gunung Sunda mencapai ukuran 6,5 x 7,5 km. Danau kaldera ini dilingkari dinding kaldera yang tegak, terlihat nyata di sebelah barat dan utara Situ Lembang.
Semula terdapat Gunungapi Jayagiri, gunung yang meletus dahsyat. Material letusannya diterbangkan dengan tekanan yang tinggi, memancar ke berbagai arah, kemudian tertiup angun dan jatuh di permukaan tanah. Kekosongan dalam tubuh gunungapi inilah yang menjadi penyebab ambruknya lebih dari sebagian tubuhnya.
Peristiwa letusan mahadahsyat yang menjadi penyebab terbentuknya kaldera Gunungapi Jayagiri, terjadi antara 560.000-500.000 tahun yang lalu.
Dari dalam kaldera Gunungapi Jayagiri inilah tumbuh Gunung Sunda dalam rentang waktu antara 210.000-105.000 tahun yang lalu. Gunung ini tingginya + 4.000 m. dpl. Mengikuti jejak induknya, yaitu Gunung Jayagiri, Gunung Sunda pun meletus berkali-kali.
Menurut Mochamad Nugraha Kartadinita (2005), letusan-letuan Gunung Sunda terjadi pada masa prasejarah, dapat digolongkan ke dalam tipe letusan plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat kuat, yang menyebabkan material dari dalam tubuh gunung ini disemburkan ke angkasa, kemudian menyebar ke berbagai wilayah di kawasan seluas 200 km2.
Kartadinata membagi letusan Gunung Sunda menjadi tiga fase letusan. Pertama fase plinian yang melontarkan material letusan sebanyak 1,96 km3. Material vulkaniknya mendapat tekanan yang sangat tinggi, sehingga mampu dilontarkan ke angkasa, membentuk tiang letusan setinggi 20 km, dengan payungnya berukuran 17,5 km x 7 km.
Belum terhitung debu halus yang melayang-layang mengelilingi angkasa dan jatuh di belahan bumi yang sangat jauh, yang volumenya mencapai 40 persen dari total material letusan yang dilontarkan.
Artikel Terkait
Tidak hanya Sesar Lembang, Banyak Sesar Aktif Lain Ancam Gempa di Cekungan Bandung
Penurunan Muka Tanah di Cekungan Bandung Rawan, Bahaya Kian Mengancam Warga, Waspada Rumah Bisa Rusak
Dampak Penurunan Muka Tanah di Wilayah Cekungan Bandung: Bangunan Rusak, Risiko Banjir Meningkat