Pesan Karen Armstrong dan para Puun

- Jumat, 10 Maret 2023 | 08:15 WIB
Buku Sacred Nature, Karen Armstrong. (Iwan Yuswandi)
Buku Sacred Nature, Karen Armstrong. (Iwan Yuswandi)

Oleh Iwan Yuswandi*

BUKU terbaru karya Karen Armstrong, Sacred Nature, terbitan Mizan, telah mengukuhkan keyakinan saya sejak lama bahwa nenek moyang kita telah meninggalkan cara hidup yang benar sesuai alam yang ditinggali. Alam begitu sakral dan sangat dihormati oleh para leluhur kita. Masa kecil saya masih bisa menyaksikan kakek dan nenek saya memperlakukan sawah, ladang, tebing, sungai, pohon, kolam, dengan sangat hormat.

Ketika panen tiba, sesepuh kampung berdoa di pinggir sawah dengan segala sesajen: ketupat kecil (seperti ketupat lebaran namun kecil), tangtang angin (berbahan beras dibungkus daun bambu dengan bentuk segitiga, tangkainya mencuat dari salah satu sudut segitiganya sepanjang kurang lebih tujuh sentimeter sebagai pegangan, sekaligus mempermudah jika diikat jadi satu bagian). Ada rujak kelapa (campuran kelapa muda yang diparut dengan gula aren dibungkus daun pisang--yang tepian kanan kirinya disematkan potongan lidi untuk membentuk wadah yang kokoh tapi lentur).

Ada dupa kecil dengan kemenyan mengepul, wewangian yang katanya bisa menghubungkan dunia spiritual masih bisa saya rasakan. Sang tetua membacakan doa-doa yang tidak bisa saya pahami. Begitu khidmatnya, sebelum orang-orang memanen padi.

Baca Juga: PPATK Temukan Aliran Dana Mencurigakan 300 Triliun di Kemenkeu, Sri Mulyani: Nggak Ada Satu Angka Pun

Ada tata cara dan aturan untuk menghoramti anugerah Tuhan dalam bentuk padi. Orang-orang dulu tidak pernah menjual padi. Menjual padi sama dengan menjual kehidupan. Karena padilah yang membuat kita hidup, begitu filosofi orang Sunda dahulu.

Sekarang, acara panen tidak sekhidmat dulu. Tata cara panen peninggalan leluhur sudah hilang. Panen menjadi aktivitas mengambil padi semata dan padi sudah diperjualbelikan.

Alam kini menjadi objek yang kerap dieksploitasi. Menebang kayu tanpa menanam, menjual pohon bambu satu rumpun sekaligus, sehingga tunas barunya terlambat tumbuh. Mata air kering karena pohon bambu yang paling banyak menyimpan air semakin berkurang. Tebing-tebing erosi, kehilangan pohon bambu sebagai pengikat tanah. Tanah tanah warisan dijual untuk membeli motor.

Anak-anak muda tidak tertarik berladang karena menganggap alam sesuatu yang terpisah dari dirinya, malu, dan ketinggalan zaman. Mencari generasi penerus buruh cangkul sangat sulit karena semua memilih menjadi tukang ojek atau buruh bangunan di kota-kota.

Baca Juga: Prediksi Cuaca Kota Bandung Hari Ini Jumat 10 Maret 2023, Pagi Cerah Berawan Siang hingga Malam Hujan

Karen Armstrong mengingatkan kita pada agama-agama kuno yang mengajarkan manusia untuk takjub dan menghormati alam. Agama kuno mengajarkan bahwa kita adalah bagian dari alam semesta. Tuhan tidak berdiri jauh di atas langit mengawasi keadaan bumi tempat kita hidup, tapi Tuhan ada dalam setiap entitas yang ada di bumi. Tuhan ada di dalam sungai, pohon-pohon, gunung, batu, udara, mata air, rumput, semak-semak, binatang, apa pun yang ada di bumi.

Jika semua yang ada di bumi adalah perwujudan dari pikiran Tuhan, sudah barang tentu alam adalah entitas yang harus kita hormati dan dijaga. Jika orang dulu permisi saat masuk hutan, itu tandanya mereka menganggap bahwa hutan adalah wilayah sakral dan spiritual. Hutan itu hidup, ada ikatan yang tak terucapkan tentang sumber dan asal usul yang sama dengan manusia.

Perasaan atau keterhubungan dengan alam tidak bisa dibedah secara saintifik. Menurut Karen Armstrong, keterhubungan itu adalah aktivitas otak kanan yang sulit dijelaskan. Hanya dalam bentuk ritual keterhubungan itu bisa dirasakan, seperti kisah ritual panen yang saya ceritakan di masa lalu.

Karen Armstrong menyebut aktivitas otak kanan itu adalah cara berpikir mitos. Mitos dalam arti sebenarnya adalah kembali pada asal mula kehidupan dan kebudayaan. Pengalaman terdalam manusia yang berkaitan dengan makna. perasaan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam kata-kata, perasaan terhubung dengan sesuatu yang sakral dan sulit dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.

Sementara kehidupan modern yang notabenenya datang dari Barat, lebih banyak menggunakan cara berpikir logos--cara berpikir otak kiri yang sistematis dan rasional. Sehingga bumi dianggap sebagai benda mekanis yang semuanya bisa diprediksi dengan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB

Situ Lembang Danau Kaldera Gunung Sunda

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:50 WIB

Bahagiakan Dirimu dengan Membahagiakan Orang Lain

Kamis, 16 Maret 2023 | 14:55 WIB

Demi Sebuah Konten, Agama pun Digadaikan

Senin, 13 Maret 2023 | 15:32 WIB

Dalam Berumah Tangga, Hati-Hati Tipu Daya 'Dasim'

Minggu, 12 Maret 2023 | 12:30 WIB
X