Belajar dari Sejarah: Risiko Mengabaikan Kritik

- Kamis, 9 Maret 2023 | 14:05 WIB
Soekarno dan Mohammad Hatta. (gahetna.nl)
Soekarno dan Mohammad Hatta. (gahetna.nl)

Oleh Haris Priyatna*

DALAM berbagai kesempatan, secara basa-basi, Presiden dan para pejabat pemerintah acap meminta masyarakat untuk mau mengkritik pemerintah agar mereka dapat mengupayakan perbaikan. Permintaan itu tentunya merupakan sesuatu yang baik.

Pertanyaannya adalah: apakah kritik itu akan efektif? Apakah benar kritik itu akan didengar, diperhatikan, lalu dijalankan?

Sejarah Indonesia mencatat, sepanjang tahun 1957-1965, mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta kerap memberikan kritik kepada Presiden Soekarno. Namun, kritik demi kritik yang disampaikan Bung Hatta dengan tulus itu dianggap angin lalu oleh Soekarno.

Dalam keadaan negara yang mulai kusut, Bung Hatta selalu mengingatkan Presiden Soekarno akan bahaya kehancuran negara akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru. Sayangnya, nasihat-nasihat Bung Hatta tersebut diabaikan sampai akhirnya negara jatuh ke lubang kehancuran dan Soekarno sendiri terseret masuk ke dalam lubang itu.

Baca Juga: Info Mudik Gratis Lebaran 2023 : Link Daftar, Rute, Kuota, Syarat

Kurun sejarah 1957-1965 memotret usaha Presiden Soekarno mengembangkan kekuasaan pribadinya. Dia berhasil merebut kekuasaan negara dan memusatkan kekuasaan tersebut dalam tangannya sendiri.

Kurun waktu itu juga memperlihatkan upaya Soekarno meluaskan kekuasaannya, dan dia berhasil membuat dirinya menjadi penguasa tertinggi Republik Indonesia seumur hidup. Dia adalah Presiden Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Petani Agung, Nelayan Agung, dan sebagainya yang serba agung.

Meskipun telah menjadi warga negara biasa, rasa tanggung jawab Bung Hatta terhadap negara dan rakyat kecil sama sekali tidak berkurang. Dia tergerak menulis surat untuk Presiden Soekarno yang berisi kritik dan nasihat tentang perkembangan negara. Dari surat-surat itu kita dapat melihat betapa konsistennya Bung Hatta dalam menegakkan kebenaran bagi bangsanya.

Dalam suratnya tanggal 27 Februari 1957, Bung Hatta mengkritik cara-cara Soekarno memaksakan konsepsi politiknya. Banyak tokoh politik yang diteror pada masa itu, pers diintimidasi. Hatta mengkhawatirkan akan terjadi perpecahan. Kekhawatiran itu kemudian terjadi. Pecah pemberontakan PRRI-Permesta yang membuat pemerintah kewalahan.

Baca Juga: Sesar Horor dan Potensi Gempa Kuat Multisegmen : Nomor 1 Sesar Cimandiri

Dalam surat tanggal 5 September 1959, Hatta memprotes pemotongan nilai uang kertas. Dia bahkan menyebut kebijakan itu tidak keruan, tidak adil, dan menikam sedalam-dalamnya hidup rakyat sendiri. Bung Hata mencela bahwa kebijakan itu tidak memahami struktur ekonomi Indonesia.

Menurut Hatta, korban utama kebijakan itu bukanlah para saudagar besar kapitalis, melainkan justru rakyat kecil: para petani, peternak, pedagang pasar, dan buruh. Mereka dijadikan miskin.

Menarik sekali melihat cara Bung Hatta menyatakan perasaannya yang amat tidak senang kepada Soekarno. Jika dia menyapa Soekarno dengan Bung Karno, itu menunjukkan sikap yang wajar. Kalau dia sudah jengkel, Soekarno disebutnya “Saudara Soekarno.”

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Wijkmeester Pecinan Suniaraja dan Citepus

Minggu, 26 Maret 2023 | 11:30 WIB

Respek dalam Berkomunikasi

Jumat, 24 Maret 2023 | 11:11 WIB

Ciledug Mengabadikan Sejarah Pembuatan Jalan Raya

Jumat, 24 Maret 2023 | 05:57 WIB

Menebar Dharma Agama dan Negara

Rabu, 22 Maret 2023 | 13:43 WIB

Pemborong Bangunan Tan Haij Long

Rabu, 22 Maret 2023 | 11:20 WIB

Rumitnya Nama Anak-Anak Zaman Sekarang

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:40 WIB

Bahagia Menyambut Bulan Ramadhan

Selasa, 21 Maret 2023 | 12:00 WIB

Media Sosial dan Identitas Diri

Senin, 20 Maret 2023 | 09:24 WIB

Situ Lembang Danau Kaldera Gunung Sunda

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:50 WIB

Bahagiakan Dirimu dengan Membahagiakan Orang Lain

Kamis, 16 Maret 2023 | 14:55 WIB
X