Letnan Tionghoa di Bandung Sejak 2 Maret 1881

- Senin, 6 Maret 2023 | 08:33 WIB
Pada 2 Maret 1881, gubernur jenderal Hindia Belanda memutuskan adanya jabatan Letnan Tionghoa di Bandung. Sumber: Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het jaar 1881, 1882.
Pada 2 Maret 1881, gubernur jenderal Hindia Belanda memutuskan adanya jabatan Letnan Tionghoa di Bandung. Sumber: Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het jaar 1881, 1882.



Oleh ATEP KURNIA*

SETELAH Bandung ditetapkan sebagai salah satu pecinan di Priangan pada 9 Oktober 1871, sejak 2 Maret 1881 di Bandung ada jabatan letnan dalam tata administrasi (opsir) kalangan Tionghoa. Saya belum mendapatkan penjelasan, mengapa harus menempuh sembilan tahun lebih di Bandung baru ditetapkan ada jabatan letnan bagi kalangan Tionghoa. Apakah hal ini berkaitan dengan kuota jumlah penduduk Tionghoanya?  

Dalam tulisan kali ini, saya akan menjejaki latar belakang kemunculan letnan Tionghoa, untuk keperluan menjelaskan alasan di Bandung ada jabatan demikian. Setelah itu, saya akan menguraikan aturan pemerintah kolonial yang menetapkan adanya letnan Tionghoa di Bandung dan pada bagian akhir akan membahas secara ringkas perkembangannya.

Sumber pustaka yang dapat menjelaskan opsir Tionghoa di masa kolonial antara lain The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942 (1994) karya Mona Lohanda, Growing Pains: The Chinese and the Dutch in Colonial Java, 1890-1942 (2002) oleh Mona Lohanda, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (cetakan ketiga, 2011) karya Onghokham, dan Wahyu Hilang Negeri yang Guncang (2018) oleh Ong Hok Ham.

Sementara khusus di Bandung, pustaka yang menyebut-nyebut dan membahas letnan Tionghoa, antara lain The Chinese Settlement of Bandung at the Turn of the 20th Century (2007) oleh Devisanthi Tunas, Klenteng Xie Tian Gong (Hiap Thian Kong, Vihara Satya Budhi) & Tiga Luitenant Tionghoa di Bandoeng (2017) oleh Sugiri Kustedja, dan Merajut Relasi Bisnis: Kumpulan Surat-surat 1900-1903 (2017) suntingan Ali Rauf Baswedan.

Baca Juga: Ancaman Pasokan BBM Kurang Pasca Depo Plumpang Meledak, Ini Pesan Anggota DPR ke Pertamina

Dari Sahbandar ke Orang Kaya

Dari berbagai pustaka di atas, saya tahu konsep opsir Tionghoa di Hindia Belanda berasal dari gagasan adanya sahbandar pada masa kerajaan-kerajaan lama. Institusi opsir Tionghoa bermula dari Oktober 1619 yang selanjutnya dikenal sebagai Chineesch Bestuur (administrasi Tionghoa) dan menjadi bagian dari administrasi kolonial Belanda di Hindia. Karena terbukti, semua opsir Tionghoa memang diangkat oleh pemerintahan kolonial, yang terdiri atas mayor, kapten, letnan, dan wijkmeester atau kepala kampung (Lohanda, 1994; Lohanda, 2002; Onghokham, 2011).

Kapten Tionghoa pertama di Hindia adalah Bencon atau Souw Beng Kong, yang diangkat pada 11 Oktober 1619, empat bulan setelah VOC menguasai Batavia. Souw Beng Kong semula pemuka masyarakat Tionghoa Banten yang pindah ke Batavia. Sementara orang Belanda pertama kali mendapati adanya pemuka Tionghoa di Batavia pada Nakhoda Watting. Souw Beng Kong menjabat hingga 1678. Sejak saat itu pula, jabatan letnan dan pembantu kapten lainnya baru ada, sekaligus tahun pembentukan Kong Koan (dewan opsir Tionghoa). Kemudian jabatan mayor baru ada pada awal abad ke-19 (Lohanda, 1994; Onghokham, 2011).

Kehadiran orang Tionghoa sekaligus pengangkatan opsirnya berkaitan dengan pacht, yaitu sistem monopoli atau hak pajak penguasa Belanda atau Jawa, yang dijual kepada pedagang (Tionghoa) dalam lelang umum. Pacht-pacht tersebut antara lain berupa penarikan pajak, bea cukai, penjualan candu, pegadaian, angkutan, penyeberangan melalui sungai, pengambilan sarang burung, pajak pasar, pembuatan garam.

Pacht-pacht yang dianggap monopoli pemerintah tersebut dijual untuk jangka setahun atau lebih kepada para pedagang Tionghoa dan dilaksanakan oleh mereka. Hingga pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial masih menjual pacht kepada Tionghoa. Kecuali penarikan pajak dan bea cukai yang sudah diambilalih pemerintah sejak 1830. Kemudian setelah 1850 hingga pertengahan abad ke-20, pacht yang bertahan bagi kalangan Tionghoa adalah pacht candu dan pacht gadai (Ong Hok Ham, 2018).

Itu sebabnya, Onghokham (2011) dan Ong Hok Ham (2018) menyatakan sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18, opsir Tionghoa di Batavia biasanya diambil dari nakhoda jung, sebab mereka pedagang terkaya. Para opsir tersebut berfungsi sebagai penjamin hutang yang diberikan oleh Belanda, sehingga dapat menentukan siapa yang akan diberi persekot dan pinjaman uang, mengendalikan ekonomi kalangan Tionghoa.

Baca Juga: DPR Pertanyakan Legalitas Tanah Penduduk Kawasan Depo Pertamina Plumpang: Tanda Tanya Besar

Pada praktiknya, sebelum abad ke-19, di kota-kota Hindia Belanda hanya terdapat seorang kapten dan beberapa letnan Tionghoa, tergantung jumlah penduduknya serta kehendak gubernur jenderal. Lalu, pada abad ke-19, opsir Tionghoa di Batavia dan kota-kota besar lainnya terdiri atas seorang mayor, beberapa kapten dan mayor. Para opsir itu tidak ada hubungannya dengan kemiliteran, kecuali gelarnya saja. Mereka adalah para pedagang kaya di kalangan Tinghoa peranakan (Onghokham, 2011; Ong Hok Ham, 2018).

Sebagai bahan perbandingan, Lohanda menjelaskan bahwa struktur administrasi Tionghoa bergantung kepada struktur administrasi setempat. Jadinya, antara administrasi bumiputra dengan administrasi Tionghoa terdapat kesejajaran. Mayor Tionghoa setara dengan bupati, kapten dengan wedana, letnan dengan asisten wedana atau camat, dan wijkmeester dengan kepala kampung bumiputra.

Menurut Onghokham (2011), mulanya kapten Tionghoa dipegang oleh totok, tapi kala Tionghoa peranakan mulai banyak dan kaya, terutama sejak akhir abad ke-18, posisi kapten Tionghoa diberikan kepada kalangan peranakan. Syaratnya mereka punya kekayaan, berhubungan baik orang Belanda dan berasal dari keluarga yang baik.

Baca Juga: URGENT! Korban Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Butuh Bantuan, Anak-anak Tak Punya Seragam Sekolah

Halaman:

Editor: Dudung Ridwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

SPIRIT IQRA

Rabu, 31 Mei 2023 | 11:54 WIB

Coldplay Bekukan Akal Sehat

Rabu, 31 Mei 2023 | 11:19 WIB

Manfaat Memandang Sesuatu Itu Secara Baik

Senin, 29 Mei 2023 | 11:02 WIB

Capgome di Bandung Tahun 1897-1938

Senin, 29 Mei 2023 | 10:46 WIB

Upaya Perbaikan Data Pertanian

Sabtu, 27 Mei 2023 | 16:15 WIB

Daging Lab, Apakah Aman Dikonsumsi?

Rabu, 24 Mei 2023 | 11:05 WIB

Adanya UU ITE: Membantu atau Mengancam?

Selasa, 23 Mei 2023 | 08:50 WIB
X