BOGOR, AYOBANDUNG.COM -- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan para kepala daerah se-Jabodetabek melaksanakan rapat melalui saluran video conference.
Dalam pertemuan virtual tersebut dibahas mengenai evaluasi penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap kedua hingga seputar mengatur pergerakan masyarakat, khususnya dalam pemanfaatan transportasi publik, seperti Kereta Rel Listrik (KRL).
“Rapatnya produktif. Tadi hadir Pak Gubernur Jakarta, Pak Gubernur Jawa Barat dengan kepala daerah Jabodetabek. Pembahasan utama mengevaluasi PSBB dan membangun kesepakatan mengatur pergerakan orang di Jabodetabek,” ujar Wali Kota Bogor Bima Arya, Minggu (10/5/2020).
Menurut Bima, ada dua hal yang harus lebih ditajamkan lagi. Misalnya mengenai pergerakan rutin pihaknya sepakat membuat regulasi baru.
"Jadi Gubernur Jakarta membuat regulasi nanti kita akan membuat juga yang mengatur lebih ketat pergerakan orang keluar dan masuk. Hanya yang dikecualikan di PSBB yang di 8 sektor strategis yang boleh. Nanti dibuktikan ada suratnya. Tidak punya surat itu, tidak boleh dan bisa dikenakan sanksi. Kalau mau naik KRL boleh, tapi dipastikan punya surat itu. Nanti kita akan turunkan (dalam bentuk Perwali), kita akan merapikan segera," jelas Bima.
Dalam rapat tersebut dibahas pula upaya khusus mencegah mudik, Jabodetabek akan melakukan pengawasan lebih ketat untuk memastikan tidak ada lagi yang mudik keluar dan masuk.
"Berdasarkan kajian epidemiologis, kalau mudik dibiarkan, tidak ada intervensi, itu lonjakan kasus positifnya akan sangat tinggi sekali,” kata Bima.
Bima mengaku sudah memerintahkan Kepala Bagian Hukum dan HAM Pemkot Bogor untuk membuat rumusan mengenai pengetatan kebijakan tersebut supaya ada payung hukumnya. Soal sanksi masih didiskusikan.
Bima Arya juga menyampaikan opsi-opsi hasil rakor dengan lima kepala daerah Bodebek.
“Kalau kita lihat pola penyebaran virus ini berdasarkan penelusuran kami, memang sebagian besar itu terpapar karena ada konektivitas dengan Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan data kami memang sebagian besar itu terpapar melalui transportasi publik. 30% warga yang terpapar karena ada konektivitas dengan Jakarta mengaku menggunakan transportasi publik,” jelasnya.
“Kami minta dua opsi, opsi pertama adalah stop total dengan kewajiban bagi perusahaan di Jakarta menyediakan layanan antar jemput karyawannya. Kalaupun tidak mungkin untuk berhenti total, kita memberikan opsi ada pembatasan yang jauh lebih ketat, bisa berupa penumpang yang naik memiliki identitas karyawan pengecualian PSBB, kemudian gerbongnya di tambah, jadwal ditambah, petugasnya ditambah dan lain-lain,” bebernya.