LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar menyambut positif pemberian stimulus Tarif Tenaga Listrik (TTL) dari pemerintah berupa pembebasan rekening mininum.
Melalui PT PLN (Persero), pemerintah telah menyiapkan mekanisme keringanan beban pelanggan menghadapi pandemi Covid-19. Salah satunya dengan pemberian Stimulus Tarif Tenaga Listrik (TTL) bagi pelanggan Golongan Sosial, Bisnis, dan Industri.
Hal ini sehubungan dengan Surat Direktur Jenderal Ketenagakerjaan nomor 1458/26/DJL.3/2020 tanggal 29 Juli 2020 perihal Pembebasan Biaya Beban dan Rekening Minimum yang merupakan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Stimulus ini meliputi pembebasan Rekening Minimum 40 Jam Nyala untuk Pelanggan Pascabayar. Layanan Reguler sesuai dengan ketentuan; Pembebasan Rekening Minimum sesuai Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) untuk Pelanggan Layanan Khusus sesuai dengan ketentuan; dan Pembebasan Biaya Beban sesuai dengan ketentuan.
"Berdasarkan hasil rapat virtual yang dilakukan assosiasi dengan PLN Jabar didapatkan beberapa poin inti. Pertama, biaya abonemen dan Rekening Minimum dihilangkan. Kedua, tagihan yang kita bayarkan ke PLN hanya daya yang terpakai saja," Kata Herman kepada Ayobandung.com, Kamis (6/8/2020) malam.
Berdasarkan aturan kebijakan, biaya minimum adalah perhitungan energi minimum selama 40 jam dalam kurun waktu satu bulan yang perlu dibayarkan oleh pelanggan. Insentif ini diberikan bagi pelanggan Sosial, Bisnis, dan Industri dengan daya dimulai dari 1.300 VA ke atas.
Pembebasan penerapan ketentuan jam nyala minimum diterapkan bagi pelanggan golongan layanan khusus sesuai dengan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL).
Melalui stimulus TTL tersebut, pelanggan hanya perlu membayar sesuai dengan pemakaian riil. Sementara selisih dari Rekening Minimum atau Jam Nyala Minimum terhadap rekening realisasi pemakaian serta Biaya Beban menjadi stimulus yang dibayar Pemerintah.
Meski kebijakan tersebut positif untuk roda perekonomian industri, namun Herman menilai kebijakan tersebut cukup terlambat. Pasalnya, sejak Juli khususnya saat penerapan masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), industri hotel dan restoran sudah mulai buka.