AYOBANDUNG.COM - Makanan dan minuman manis tidak hanya memiliki rasa yang enak, tapi juga menyegarkan. Ini yang menjadi alasan banyak orang menyukai jenis jajanan tersebut. Namun, terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman manis ternyata bisa berdampak ke
kesehatan.
Menurut dr. Alamsyah, Sp. Og., mengonsumsi banyak makanan manis dapat memberikan
dampak negatif bagi calon bayi yang ada dalam kandungan. Hal ini dikarenakan ibu yang terlalu
banyak mengonsumsi makanan dan minuman manis selama hamil memiliki risiko dua kali lipat
melahirkan anak yang akan memiliki penyakit asma dan alergi terhadap hal tertentu.
“Biasanya ini terjadi karena gula dapat menyerang sistem imun yang sedang dibangun selama
bayi di dalam kandungan. Akibatnya, anak jadi lahir tanpa memiliki perlindungan terhadap satu
atau beberapa hal.” kata dr Alamsyah dalam keterangannya, Rabu 18 Januari 2023.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika kebiasaan makan manis selama hamil tidak dibarengi dengan
membersihkan mulut secara rutin, secara tidak langsung ini akan membahayakan calon bayi
dalam kandungan.
“Kalau ibunya terus menerus mengkonsumsi gula secara berlebih itu bisa memicu terjadinya
obesitas alias kelebihan berat badan pada bayi. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko bayi lahir
besar,” paparnya.
Membatasi konsumsi makanan manis tidak hanya perlu dilakukan oleh ibu hamil saja. Namun,
anak-anak, remaja dan dewasa usia produktif seharusnya waspada terhadap kebiasaan ini.
Terlebih lagi, beberapa tahun terakhir, berbagai makanan minuman dengan tambahan topping
gula, sirop ataupun kental manis yang melimpah menjadi viral dikalangan masyarakat. Seolah
tak pandang usia, anak-anak, remaja hingga dewasa sangat menggemarinya.
Di kalangan sejumlah pemerhati publik, fenomena ini dinilai mengkhawatirkan. Pasalnya,
edukasi mengenai kandungan zat dalam makanan dan pengaruhnya terhadap tubuh juga masih
minim di masyarakat.
Selain itu, pemerintah pun terlihat abai dengan persoalan ini. Terkait susu
kental manis misalnya. Pemerintah memang telah menerbitkan aturan mengenai label dan
penggunaannya. Namun sosialisasi ketentuan tersebut terlihat minim. Maka tak heran, hingga
saat ini masih ditemukan konsumsi kental manis pada balita.
Pengamat Kebijakan Publik, Sofie Wasiat, kurangnya edukasi dan sosialisasi mengakibatkan
masih banyak masyarakat Indonesia yang salah persepsi terhadap kental manis.
“Selama puluhan tahun kental manis dipahami memiliki kadar gizi yang tinggi bagi pertumbuhan anak sehingga disetarakan dengan susu sapi pada umumnya.” ujar Sofie.
Pada kenyataannya, konsumsi kental manis saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
pada anak, atau bahkan untuk dapat menggantikan ASI. Ia juga berpendapat jika itu merupakan
permasalahan serius yang memang perlu untuk ditangani oleh pemerintah dan didukung oleh
seluruh elemen masyarakat.
Edukasi kental manis harus juga diintegrasikan dengan edukasi program prioritas stunting, agar
mendapatkan dukungan dari banyak pihak dan dapat dilakukan secara masif di setiap daerah oleh
berbagai institusi dan lembaga.
“Harapannya adalah masyarakat dapat meningkatkan literasi agar rentan terhadap strategi pemasaran yang menyesatkan persepsi dalam pemenuhan kebutuhan gizi.” jelasnya.***