AYOBANDUNG.COM -- Selembar kain biru sepanjang 2,5 meter tergulung rapi di ruangan sebuah galeri produk fesyen di Ganesha Cafe, Jalan Katamso, Kota Bandung. Kain dengan nuansa warna biru pudar tersebut memiliki aksen sulam benang putih yang timbul di sepanjang permukaan kainnya.
Ada perjalanan panjang yang menyertai kain tersebut sebelum sampai di galeri. Sebelumnya, gulungan kain biru yang masih berupa benang itu terbentang selama hampir dua minggu di atas mesin tenun seorang pengrajin tenun di Kampung Sayang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
Kain ditenun dengan tangan, menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pengrajinnya menenun helai demi helai benang dengan ketelitian esktra. Pasalnya, sang pengrajin harus melakukan teknik tenun dan sulam dalam satu waktu. Hal itulah yang menghasilkan aksen timbul yang unik pada kain.
Benang yang digunakan pun tak kalah unik. Benang tersebut lahir dari gundukan limbah tekstil yang diolah menggunakan alat khusus menjadi bahan benang. Limbah yang digunakan adalah limbah denim, yang pada akhirnya memberikan sentuhan warna biru pada kain. Sedangkan aksen timbulnya yang berwarna putih dihasilkan dari limbah tekstil mentah.
"Seluruh proses pembuatan kain ini dilakukan secara natural, termasuk warnanya. Kain ini tidak mengalami proses pewarnaan, karena biru-nya berasal dari warna limbah olahan itu sendiri, yakni limbah denim. Selama proses pun, kain ini tidak dicelup air sama sekali," ungkap salah satu insiator kalin ramah lingkungan tersebut, Asep Rohman ketika ditemui Ayobandung.com di galeri Ganesha Cafe belum lama ini.

Pria yang akrab disapa Oman tersebut mengatakan, kain biru itu adalah salah satu prototipe dari inovasi yang tengah dikembangkan dirinya beserta tiga penguasaha fesyen lainnya asal Jawa Barat. Galeri seluas 3x5 meter tersebut sekaligus menjadi ruang pamer atau showcase bagi aneka produk fesyen yang diciptakan oleh keempat orang tersebut.
Di dalamnya terdapat rak-rak yang menampung deretan baju yang dirancang dengan aksen hiasan kain perca, batik shibori, blazer dan kimono dengan motif ecoprint, aksesori resin dari bunga kering, dan sebagainya. Dalam nuansa warna-warni serta bentuk yang berbeda, ada satu hal yang menjadi kesamaan dari kumpulan baju dan aksesori tersebut, yakni produk ramah lingkungan.
Baju-baju dan aksesori itu adalah hasil karya dari empat brand atau jenama UMKM asal Jawa Barat ; Sesa-sesa, Boolao, Seolla, dan Arae. Merk tersebut tergabung dalam sebuah jenama anyar bernama Sagarayasa.
Keempatnya memiliki produk, desain, hingga target pasar yang berbeda. Namun, satu benang merah yang saling menautkan keempatnya adalah semangat penciptaan fesyen ramah lingkungan di bawah proses produksi yang berkelanjutan.
Tak hanya bahan baku dan pengolahannya yang nirlimbah dan memanfaatkan sampah, masing-masing produk Sagarayasa juga berupaya diciptakan dengan mengusung asas berkeadilan pada setiap pihak yang terlibat proses produksinya.
Kolaborasi Lahirkan Inovasi
Saat ini, Ratih Miranti mungkin masih menyimpan benang hasil olahan limbah tekstil tersebut jika saja pada pertengahan tahun 2021 tidak bertemu dengan Oman dan dua orang pemrakarsa Sagarayasa lainnya, yakni Asri dan Masrur. Ratih adalah Co-founder sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Sagarayasa yang memiliki jenama fesyen Sesa-sesa.
Ratih yang merupakan lulusan Politeknik STT Tekstil Bandung terbiasa melakukan berbagai ujicoba untuk menghasilkan bahan baku kain dengan cara anyar. Serangkaian trial dan error dilakukan bersama rekan-rekan kampusnya, hingga akhirnya inovasi benang olahan limbah tekstil tersebut lahir.