CIBEUNYING KIDUL, AYOBANDUNG.COM -- Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil III Kota Bandung Aru Armando menegaskan, para konsumen yang membeli produk atau jasa dari produsen harus diberi kebebasan dalam memilih. Hal itu berkenaan dengan Prinsip Persaingan Usaha yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Aru mencermati soal kasus marketplace atau e-commerce yang diduga tidak membebaskan konsumennya untuk memilih mitra ekspedisi sesuai dengan preferensi konsumen. Menurut Aru, dalam kasus marketplace, konsumen tidak hanya pembeli. Para penjual dan mitra ekspedisi pun tercatut sebagai konsumen yang terlibat dalam transaksi jual-beli.
“Konsumen (di marketplace) bisa kita klasifikasikan menjadi dua. Jadi bukan hanya konsumen sebagai pembeli yang membeli di marketplace, melainkan termasuk juga penjual. Penjual ini kan bisa dianggap sebagai konsumennya marketplace, atau konsumen marketplace di sisi yang lain. Ketika dia menggunakan marketplace tertentu, tentu konsumen, baik dia itu penjual di marketplace tertentu ataupun konsumen yang membeli, harus diberikan kebebasan untuk menentukan siapa yang dia pilih untuk dijadikan mitra atau pilihan provider barang yang mau dia jual atau yang mau dia beli,” ujar Aru saat ditemui Ayobandung.com di Kantor Wilayah III KPPU, Rabu, 14 April 2021.
Dalam kasus marketplace yang tidak membebaskan konsumennya untuk memilih mitra ekspedisi sesuka hati, Aru mengaitkannya dengan preferensi konsumen yang tersebar di wilayah-wilayah yang berbeda. Dalam satu wilayah tertentu, mitra ekspedisi yang lebih menjadi pilihan banyak orang bisa berbeda dengan wilayah yang lain. Pada gilirannya, pihak-pihak marketplace seharusnya bisa menghormati pilihan konsumen saat memutuskan mitra ekspedisi yang paling cocok sesuai dengan daerahnya masing-masing.
“Setiap konsumen itu pasti memiliki preferensi-preferensi tertentu. Misalnya, untuk wilayah tertentu itu kan kalau berbicara masalah ekspedisi, setiap daerah punya karakteristik tersendiri. Misalnya, kalau di daerah-daerah yang katakanlah (bersifat) remote area (area terpencil), itu kan tentu tidak banyak ekspedisi yang bermain di sana. Hanya ada beberapa ekspedisi tertentu yang biasa digunakan. Termasuk juga untuk wilayah Bandung, misalnya. Di Bandung, misalnya orang preferensinya lebih suka ke ekspedisi X, berbeda misalnya dengan warga kota Surabaya yang katakanlah lebih suka dengan ekspedisi E,” sambung Aru.
Selanjutnya, Aru menegaskan, jika suatu marketplace tidak menghormati pilihan konsumennya yang berkaitan dengan konsumen dalam konteks yang lain, misalnya mitra ekspedisi dalam transaksi jual beli online, marketplace itu bisa dianggap telah melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat karena terindikasi adanya tindak monopoli.
“Seandainya memang ada (pembatasan kepada konsumen), kita harus mengetahui apakah memang yang dilakukan oleh marketplace ini berpotensi melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat atau tidak, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ada salah satu pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 itu yang mengatur mengenai Perjanjian Tertutup atau ‘Tying In’,” tegas Aru.
Aru pun menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang disebut Perjanjian Tertutup yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Marketplace yang memaksakan konsumen untuk menggunakan jasa ekspedisi milik marketplace itu sendiri bisa jadi terindikasi telah melakukan penawaran yang terikat kepada konsumen. Pada gilirannya, penawaran yang terikat itu dapat membatasi hak-hak konsumen untuk bebas dalam memilih produk atau jasa yang sesuai dengan kehendaknya.
“Jika misalnya jasa ekspedisi ini milik marketplace, maka potensi pelanggaran yang diduga dilanggar oleh marketplace ini adalah terkait dengan Perjanjian Tertutup atau Tying In.Istilah dalam kasus ini disebut bundling, tapi diikat. Bundling itu boleh, yang nggak boleh itu tying. Tying itu diikat, (konsumen) nggak bisa milih.Jadi, misalnya kita beli makanan cepat saji, di sana ada paket-paket hemat. Di resto-resto cepat saji itu bahkan pembeli masih memilih produk secara terpisah. Dengan membeli paket ini, misalnya konsumen dijanjikan bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Nah, tapi apakah paket (bundling) yang ditawarkan oleh produsen ini sesuai dengan konsumen? Kan nggak tentu. Pasalnya, masing-masing orang tentunya punya preferensi sendiri dalam memilih,” tutur Aru.
Untuk diketahui, saat ini Shopee sebagai salah satu marketplace terbesar di Indonesia telah mengubah kebijakan dalam pemilihan mitra ekspedisi yang ditawarkan kepada konsumen. Kini, pembeli mau tidak mau harus menerima mitra ekspedisi Shopee Express dalam setiap pembelian. Menurut Aru, jika ada marketplace yang terbukti telah menutup pilihan jasa-jasa ekspedisi, maka marketplace itu dapat diduga telah melakukan diskriminasi kepada pembeli sekaligus jasa-jasa ekspedisi yang lain. Hal itu pun tetap berlaku jika suatu marketplace hanya menawarkan satu jasa ekspedisi tertentu kepada para konsumennya.
“Bahkan, kalau misalnya ekspedisi ini bukan milik marketplace tapi tetap dipaksa, berarti bisa dianggap diskriminasi. Konsumen dihalang-halangi untuk membeli atau menempatkan produk barang atau jasa yang diinginkan,” pungkas Aru.