NGAMPRAH, AYOBANDUNG.COM -- Observatorium Bosscha di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), genap berusia 100 tahun, pada Januari 2023. Di usia satu abad, tempat pengamatan benda langit pertama di Indonesia ini masih mendapat ancaman serius dari polusi cahaya.
Akibat polusi cahaya, luas pengamatan di Observatorium Bosscha mengalami pengurangan. Meski masih melakukan pengamatan dengan baik, kegiatan pengamatan di bagian selatan terhalang bauran cahaya artifisial dari Kota Bandung dan di wilayah utara terdampak polusi dari Kota Lembang.
Kepala Observatorium Bosscha, Premana W. Premadi mengatakan agar terhindar dari polusi cahaya, pengamatan mesti dilakukan 30 derajat di atas ufuk dan dilakukan di atas pukul 22.00 WIB. Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penanganan, bukan tak mungkin makin parah. Pasalnya, sejumlah teleskop memiliki batas jarak pengamatan.
"Kita punya berbagai jenis teleskop dengan jarak pengamatan terbatas. Jadi sampai saat ini dengan teleskop yang ada masih bisa mengamat dengan baik diatas 30 derajat di atas horizon, tapi jangan keterusan polusi cahayanya," kata Premana, Senin, 16 Januari 2023.
Baca Juga: 15 Tradisi Tahun Baru Imlek, Lajang Wajib Terima Angpao
"Ke arah selatan kita sudah terganggu Kota Bandung, ke utara terganggu Kota Lembang. Tapi di atas 30 derajat kita masih mengamat dengan baik, apalagi jam 10 malam sampai pajar, bertepatan dengan malam cerah, agar masih bersih dari polusi cahaya," tambahnya.
Polusi cahaya dari wilayah Bandung Raya terus mengalami peningkatan signifikan dan mulai mengganggu aktivitas astronomi di Observatorium Bosscha sejak tahun 1980-an. Hal ini terjadi seiring terjadinya pertambahan jumlah penduduk serta peralihan kegiatan ekonomi dari pertanian dan peternakan ke sektor wisata.
"Tahun 80-an kita sudah punya dokumentasi foto cahaya artifisial dari Kota Bandung, ini terus meningkat hingga sekarang. Ditandai transisi bisnis di sini dari pertanian dan peternakan yang tak perlu cahaya di malam hari. Bergeser menjadi tempat komersial, penginapan, toko, rumah makan, wisata, kendaraan, dan jumlah masyarakat makin banyak," tambahnya.
Dampak polusi cahaya bukan saja menghambat kegiatan pengamatan benda langit, tapi juga berdampak ke hewan-hewan yang beraktivitas pada malam hari atau nokturnal. Jadi semua pihak mulai harus mulai mengantisipasi masalah ini.
Baca Juga: Ricky Rizal Ikutan Kuat Maruf, Dituntut 8 Tahun Penjara
"Kalau soal polusi cahaya astronomi paling ribut soal itu. Tapi ada yang gak bisa ribut yakni hewan-hewan nokturnal atau binatang yang amat bergantung pada cahaya natural. Misalnya, penyu sangat bergantung pada bulan purnama, bayangkan kalau cahaya itu jadi membingungkan mereka," papar Premana.
Menurutnya, polusi cahaya sebenarnya jenis polusi yang bisa dicegah dengan mudah jika semua pihak mau serius. Dari sisi regulasi misalnya membuat aturan pemanfaatan cahaya. Jika tidak bisa dengan langkah sederhana yakni membuat tudung lampu.
"Di Indonesia belum ada (aruran khusus), tapi sebenarnya sudah ada peraturan Gubernur dan Presiden tentang perlindungan terkait Observatorium. Hanya saja turunnya belum sapai ke regulasi menekan polusi cahaya," jelasnya.
"Boscha konsisten membuat tudung lampu di bagi ke masyarakat. Intinya bukan kita mendorong manusia hidup dalam gelap, tapi posisinya lampunya ke bawah, karena yang perlu diteragi kan di bawah," tandasnya.
Artikel Terkait
Arsitektur Gedung DPRD KBB Adopsi Tangkuban Parahu dan Boscha