Cerita Pendek Aliurridha*
WANITA itu datang ketika aku sudah tak lagi mengharapkannya. Dulu, ketika aku mengharapkannya, ia justru tak pernah ada. Kini, ketika hidupku telah nyaman tanpa dirinya, ia datang dan berkata, bantulah adikmu. Ibu tidak punya uang untuk membayar biaya sekolahnya. Sekarang lagi krisis dan ayahnya baru saja dirumahkan.
Ibu? Dia menyebut kata ibu. Aku tidak pernah punya kosakata itu dalam kamusku. Tidak tanpa predikat guru. Adik? Adik, katanya! Aku bahkan tidak kenal siapa yang disebutnya adik itu. Seumur hidup aku mengira diriku anak tunggal yang dititipkan kepada sepasang tua yang sudah selayaknya pensiun mengurus bocah, dan dia yang mengaku sebagai ibuku itu pergi meninggalkanku tanpa sekalipun menengok ke belakang.
Dari tetangga-tetanggaku, aku tahu bahwa ternyata wanita yang harusnya kupanggil ibu itu, tinggal tidak jauh dari tempatku tinggal. Kami tinggal satu kecamatan yang sama, hanya beda desa. Namun, tak pernah sekali pun dia mengunjungiku.
Kini, ketika aku telah bekerja sebagai buruh dengan upah yang tidak seberapa, dia datang dan mengaku sebagai ibuku. Dia meminta bantuan untuk seseorang yang seumur hidupnya tak pernah kukenal. Aku tidak tahu bagaimana meresponsnya.
Ini uang. Semua gajiku bulan ini. Tak banyak memang. Tapi cukup untuk membayar SPP anakmu untuk beberapa bulan ke depan. Namun kuminta satu hal: jangan pernah mengunjungiku lagi, begitu kataku.
Baca Juga: Kapan Eksekusi Hukuman Mati Ferdy Sambo Dilakukan? Begini Tanggapan Pihak Kejaksaan Agung
***
Saya baru saja dihubungi Rama. Dia bilang perempuan itu datang lagi. Tidak perlu diceritakan detailnya, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya menghubungi kedua teman kecil saya, teman kecil Rama juga: Farhan dan Danar. Saya tidak pandai bicara. Tidak pandai juga menghibur seseorang yang sedang bersedih. Apalagi sampai bisa membuatnya tertawa. Saya bukan Farhan.
Begitu tiba di lapangan tenis, saya lihat Rama duduk sendirian. Botol-botol minuman berserakan di sekitarnya. Lapangan itu terang meski tak satu lampu pun menyala. Malam sedang cerah-cerahnya. Tak ada awan. Bulan bersinar terang. Bintang-bintang terlihat kerlap-kerlip di kejauhan. Begitu mendekat, saya mencium bau menyengat seperti bau tape basi. Dari kejauhan saya pikir botol-botol air mineral berisi cairan berwarna merah muda di atas meja itu adalah tuak; setelah mendekat, baru saya sadar itu brem merah.
***
Tumben-tumbennya Dariel ngajakin minum. Di lapangan tenis pula. Saya langsung tanya: ada brem ndak? Saya tanya karena saya ndak suka bir. Bir pahit. Dariel bilang sih ada. Kalau Dariel yang bilang, saya percaya. Dariel ndak pernah bohong, ndak kayak Danar. Segera tuh saya batalin semua rencana saya malam itu. Sebenarnya ndak ada juga rencana saya, pura-pura sibuk saja. Biasa, biar kelihatan keren.
Langsung saja saya langkahkan kaki ke lapangan tenis. Jalan kaki saja. Rumah saya ndak jauh dari lapangan tenis. Dari semua teman saya, saya satu-satunya yang masih tinggal di kompleks ini. Mereka bertiga sudah lama pindah, tapi sering sih mereka ke sini. Untuk minum. Lain dari itu ndak pernah kunjungi saya.
Ketika saya lewat depan masjid Al-Multazalm, hati saya terenyuh mendengar suara azan. Sudah lama saya ndak solat di masjid. Saya mampir dulu, ambil empat rakaat. Mengenai habis ini saya bakal mabuk, itu urusan nanti. Yang penting saya sudah menunaikan kewajiban saya sebagai muslim. Lagi pula hidup harus adil, harus seimbang.
Artikel Terkait
Cerita Pendek: TEMAN BARU SEMASA RONDA
Cerita Pendek: TANGAN YANG DIBUNGKAM
Cerita Pendek: AKU CINTA KAU BUMI