AYOBANDUNG.COM -- Bus Madona merupakan angkutan antar kota pertama di Kabupaten Bandung Barat (KBB). Pionir transportasi massal yang mengangkut penumpang dari pegunungan wilayah selatan ini, pernah berjaya pada masanya.
Uneh, 56 tahun, warga Desa Sindangkerta, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, masih ingat betul pengalamannya naik Bus Madona, jurusan Sindangkerta-Leuwipanjang tahun 1995.
Saat itu, Uneh hendak pergi ke Pasar Baru Bandung untuk belanja pakaian anyar. Sejak pagi, sekitar 12 bus Madona telah berjejer antre isi muatan di Terminal Sindangkerta. Ia naik bus paling depan dari antrean dan mendapat bangku paling belakang.
Baca Juga: Akibat Bencana Pergerakan Tanah, 40 Rumah di Bandung Barat Akhirnya Relokasi
"Saya dapat bagian duduk di belakang. Ngetem bus gak lama, paling cuma 10 menit. Tapi semua bangku terisi penuh," kenang Uneh.
Di perjalanan, Bus Madona yang ditumpangi Uneh terus dinaiki penumpang. Beberapa orang naik dari daerah Rancapanggung, Alun-alun Cililin, dan Pasar Batujajar. Saking ramainya, banyak di antara penumpang terpaksa berdiri bahkan naik di atap bus.
"Waktu itu penumpang di dalam bus baru bisa agak berkurang saat sampai di daerah Cimareme, karena banyak turun. Tapi gak lama, penuh lagi di daerah Cimindi sampai tujuan akhir di Leuwipanjang," papar Uneh.
Pada masanya, Bus Modona tak berhenti lalu-lalang tiap 10 menit sekali, di Jalan Raya Sindangkerta-Bandung. Total armada bus ini mecapai 46 unit, dengan rincian jurusan Sindangkerta-Leuwipanjang 28 armada, Cijenuk-Ciroyom 11 armada, dan Cijenuk-Leuwipanjang 7 armada.
Baca Juga: Dikira Kereta Api Loncat, Ternyata Bangunan SMPN 1 Cicalengka Ambruk
Sejak tahun 1995, Uneh menjadi salah satu penumpang setia Bus Madona karena merasa nyaman dan ongkosnya bersahabat. Ia mengaku mulai naik bus dari ongkos Rp500 hingga Rp15.000.

"Mungkin karena bus pertama yang dikenal, jadi kalau mau kemana-mana, terutama ke Bandung pasti naik Madona," jelasnya.
Seperti bus kota lainnya, Madona punya hiburan rakyat yang khas yakni, dendang balada atau tembang sunda, dari para seniman jalanan. Tak lupa sajian kuliner istimewa dari pedagang asongan.
"Paling berkesan waktu itu, mendengar musik pengamen nyanyi lagu sunda. Karena enak suaranya jadi pengantar perjalanan," tutur Uneh.
Artikel Terkait
Bojong Kunci: Sejarah Cita Rasa Opak
Jalan Raya Pos Rute Rajamandala-Cimahi: Warisan Daendels Bernasib seperti Radiator Springs
Tragedi Gempa Dahsyat Hancurkan Jalur Kereta Api Padalarang-Cipatat dan Aksi Heroik Warga Pribumi
Detik Akhir Pentolan G30S Letkol Untung, Tewas oleh Regu Tembak di Lembang
Mendengar Senandung Nostalgia di Toko Kaset Pita Bekas Cihapit
Sejarah Jalur Kereta Api Karawang-Padalarang, Proyek Ambisius Belanda yang Dinilai Pemborosan
100 Tahun Beroperasi Power House PLTA Plengan Dijadikan Heritage
Melihat PLTA Plengan, Pembangkit Listrik Berusia 100 Tahun
Menilik Plaza Parahyangan, Sentra Distro di Kota Bandung yang Berdiri Sejak 1983
Tempat Kuliner Legendaris Bandung: Sejarah Kopi Purnama yang Berdiri Sejak 1930