Suaramu tercekat, seperti tidak sanggup melanjutkan kalimat pembelaanmu yang sudah pernah kudengar. Kamu memeluk bocah lelaki itu erat. Lagi-lagi, rahangku mengeras.
“Ini untukmu, Ray. Dia menulis ini sebelum sakitnya semakin parah.”
Kamu menyodorkan sepucuk surat. Aku menerimanya, kemudian meletakkannya di sisi jenazah bapak.
“Begitu besar kebencianmu kepada kami.”
Kamu berkata lirih sambil menundukkan kepala.
Jadi, kamu merasa tidak pantas kubenci seperti ini? Jadi, aku yang salah karena tak bisa menerima kenyataan?
Dadaku kembali berkecamuk. Kebencian yang selama ini kupanggul terasa semakin berat. Aku beranjak berdiri, aku tidak mau lebih lama lagi di rumah ini.
“Ayo kita mulai proses memandikan jenazah. Aku harus segera kembali ke Jakarta.”
Suaraku datar dan dingin. Rumah ini menimbun banyak kenangan, tetapi aku tidak lagi ingin ada di sini. Terlalu memuakkan.
Kamu tampak terkejut mendengar perkataanku. Mata bulatmu menatapku tak percaya. Beberapa orang lelaki membawa jasad bapak pada tempat pemandian jenazah. Kain-kain panjang dibentangkan di sekelilingnya, menjadi pembatas. Aku berdiri kaku, di depan jasad bapak yang berbantal gedebong pisang.
Artikel Terkait
Cerita Pendek: LELAKI DI BUS MALAM YANG DUDUK DI SEBELAHKU
Cerita Pendek: GARA-GARA TELEVISI
Cerita Pendek: KADIR DAN SELAWAT KERUPUK UDANG