Cerpen Akhmad Idris
SEBENARNYA, bagaimana cara membuktikan cinta? Benarkah cinta itu memberi, sehingga semakin banyak memberi berarti semakin sejati? Lantas, bukankah cinta hanya bisa dimiliki oleh orang-orang berada, sementara yang liyan tak lebih dari seorang figuran belaka? Bukankah cinta menjadi tak lagi suci, karena telah ternodai dengan diskriminasi? Benarkah cinta itu hanya tentang angka-angka? Satu berbalas sepuluh, lalu berlipat mengandai kiamat serta jumawa melukis surga.
Bagi Kadir, cinta yang seperti itu tak akan pernah ia temui dalam saku celana lusuhnya. Yang ia tahu, ia harus mengumpulkan wajah Tjut Meutia dan Mohammad Hoesni Thamrin lagi untuk menghaturkan rasa cintanya kepada Kanjeng Nabi.
***
Mulud (1) selalu menjadi bulan yang istimewa bagi seluruh masyarakat Kedung Cangkring dan sekitarnya, sebab pemilik mulud adalah seluruh penduduk desa, bukan hanya milik orang-orang kaya saja. Lantunan selawat secara ‘meriah’ itu tidak dilaksanakan di ruang-ruang tamu maupun di depan rumah berdinding mewah, tetapi dilaksanakan secara berpindah-pindah setiap harinya dari satu surau ke surau lainnya selama satu bulan penuh.
Tiap hari para penduduk akan membawa makanan/kudapan/minuman dengan sukarela tanpa perlu diperintah. Tak ada tekanan sama sekali untuk golongan masyarakat yang disebut kaya maupun yang dianggap merana. Semuanya bebas dan merdeka untuk me-rupa-kan kehendaknya, juga tak ada tanda atas apa-apa yang telah di-rupa. Sebab tanda kerap kali menyemai luka & mengurai kuasa.
Di Kedung Cangkring tak hanya konsep ‘surau ke surau’-nya saja yang membuatnya berbeda, namun konsep ‘meriah’-nya juga menjadi kisah yang selalu layak untuk dinanti dan dirindui. Setiap pengurus masing-masing surau selalu membuat gantungan makanan-makanan ringan dan buah-buahan di langit-langit surau, yang nantinya akan diperebutkan para jamaah yang berselewat ketika mahal al-qiyam (2).
Orang dewasa dan anak-anak akan meneriakkan Allahumma Sholli ala Muhammad dengan wajah penuh keceriaan, kemenangan, dan kebebasan. Ada yang saling sikut, namun tanpa rasa dendam yang melangut. Ada yang saling seruduk, namun tanpa rasa sakit hati yang berkecamuk. Semuanya berbahagia karena saat itu adalah bulan kelahiran makhluk yang paling mulia.
Kadir senyum-senyum sendiri di atas dokar tuanya saat membayangkan suasana teduh itu yang akan terjadi dalam beberapa hari lagi. Di Kedung Cangkring tak ada fasilitas angkutan umum untuk mencapai jalan raya Porong, sehingga transportasi tradisional menjadi satu-satunya akses ‘angkutan umum’.
Mungkin faktor inilah yang membuat Kedung Cangkring tampak bersahaja karena ‘ketertinggalannya’ dan tampak kerumah-rumahan bagi para pelancong. Tak heran banyak kompleks pondok pesantren di Kedung Cangkring, karena jumlah santri yang terus bertambah tiap tahunnya. Wajar bertambah, lah wong bikin betah. Dari para santri inilah, Kadir bisa menghidupi keluarga kecilnya. Hampir setiap hari, satu-dua santri (khususnya santri senior yang bertanggung jawab terhadap urusan perut seluruh santri) dari pelbagai kompleks pondok pesantren menggunakan jasa dokar untuk membeli kebutuhan di pasar Porong.
Artikel Terkait
Cerita Pendek: LELAKI DI BUS MALAM YANG DUDUK DI SEBELAHKU
Cerita Pendek: TIANG LISTRIK
Cerita Pendek: GARA-GARA TELEVISI