Oleh: Vito Prasetyo
LI BAI menarik pedati waktu, terlunta-lunta di tubuh sajaknya yang sekarat. Pedati itu kian berat, berjuta barel arak melumuri tubuhnya. Sinar matahari pun meruncing tajam, menghunjam bait-bait duka yang menyelimuti kisah cinta Li Bai. Mungkin saja, hari-harinya serasa perjalanan cemas dan gelisah.
Di pinggir Sungai Mekong, riuh air sungai mengalir membasahi tatapan kosong Li Bai. Aliran sungai itu serupa kidung ingatan yang tak lagi merdu. Nadanya meracau bagai buih arak yang memabukkan. Entah kenapa, Li Bai semakin terbuai dalam sajak-sajak rindu dan seakan menghangatkan pikirannya tatkala sebotol arak mendampingi bait-bait sajaknya.
Sungai Mekong yang panjangnya sekitar 2.700 mil dan mengalir dari sebelah tenggara Provinsi Qing Hai, seakan menumbuhkan peradaban hidup dari masa ke masa. Dan Li Bai meyakini aliran Sungai Mekong seperti sebuah filosofi hidup yang mengalir, seperti kisah cinta yang selalu tumbuh di setiap masa.
Hampir tiap malam Li Bai duduk di tepi Sungai Mekong, memandang indahnya rembulan. Setiap sudut sungai tumbuh bambu-bambu yang diempaskan angin dan berderit seperti kidung cinta. Tatapan Li Bai seakan dipenuhi bayangan seorang gadis yang menari-nari dalam bait-bait puisinya.
Seorang gadis berkulit putih berpapasan dengan Li Bai beberapa hari lalu. Tanpa sengaja, Li Bai seakan menatap pesona itu di tengah kerumunan orang-orang yang memadati pasar. Kulit gadis itu sebening sinar yang memancar aroma wangi. Setiap lekukan tubuh gadis itu, serupa diksi indah yang telah menelusup sampai ke jiwa Li Bai. Siapakah gadis itu? Pikiran Li Bai berkecamuk ingin segera mengenalnya.
Tiba-tiba seorang laki-laki bernama Zhao Mingcheng datang menghampiri Li Bai. “Aku ingin membuat puisi bersamamu, Li Bai.”
“Puisi tentang apa, Zhao Mingcheng?”
“Puisi tentang kematianku.”
“Kenapa engkau berkata seperti itu?”
Artikel Terkait
Cerita Pendek: JERAT BUBAT
Cerita Pendek: PUASA TANPA KEPALA KELUARGA
Cerita Pendek: KISAH YANG TAK BERKESUDAHAN