USAI mandi, Masdi duduk bersila di teras depan rumah panggung.
Dua tangannya lalu berkali-kali menggulung ujung bawah kain celana panjang hitam kusam sampai di lutut. Hingga terlihatlah urat-urat kaki warna hijau-kebiruan yang nyembul di betis kaki kirinya. Perlahan, diusap-usapnya betis—dimulai dari mata kaki hingga ke bawah lutut. Dirasakannya pegal-pegal di betis. Lalu, diraihlah balsam di jendela di pinggir daun pintu. Diolesinya dengan pelahan juga rata, tetapi betis kaki kanannya tidak diolesinya dengan balsam karena ada luka menganga yang belum kering di betis bekas terkena ujung cangkul.
Tatapannya lalu menerawang kosong ke depan rumah, berupa hamparan sawah yang baru ditanami bibit padi—masih jauh dari panen.
Dia kemudian memijit-mijit pinggang sebelah kiri-kanannya secara bersamaan dengan kedua tangannya, kemudian diolesi lagi balsam. Masdi yang berusia 40-an ini kembali menerawang. Dengan suara parau akibat masih keletihan setelah mencangkul di sawah, lalu berkata pada Ida istrinya yang sedang berada di dapur, “Kau sedang apa? Pijatin bahuku ya.”
Ida menyahut, “Iya tunggu sebentar, tanggung.”
Beberapa saat kemudian, sayuran daun singkong bercampur parutan kelapa, matang pula di atas katel—yang seperti biasa dimasak dengan api dari kayu bakar. Ida gegas ke teras depan, langsung memulai memijit. Masdi merasakan kenyamanan.
“Mencangkul di sawah itu payah. Badan kotor terkena lumpur, bertemu ular, lintah, kecapaian kepanasan, tetapi uang sedikit karena upahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita. Ya memang sudah segitu upahnya, sudah standar di mana-mana, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Rina anak kita kini sudah kelas 6. Aku ingin dia tetap terus bersekolah. Namun nanti, pemenuhan kebutuhan sekolahnya dari mana?” Masdi bicara panjang.
“Sabar tanpa batas, Kang. Segini mungkin rezeki kita saat ini.” Lalu, Ida tersontak kaget saat melihat di pergelangan kaki Masdi ada luka menganga.
“Kang?”
“Ya ini terkena cangkul, tadinya mau mencangkul lintah di lumpur, tetapi meliuk terus, akhirnya mengenai mata kaki.”
Artikel Terkait
Cerita Pendek: TARZANI BILANG MAU MATI SAJA
Cerita Pendek: PERTEMUAN
Cerita Pendek: DERA LARA
Cerita Pendek: JERAT BUBAT