Oleh: Teni Ganjar Badruzzaman
RASANYA aku baru saja bisa terlelap ketika tiba-tiba Kanjeng Putri Dyah Pitaloka Citraresmi mengguncangguncangkan bahuku. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Tampaklah wanita secantik bidadari tepat di hadapanku. “Segera bersiaplah!” katanya seraya tersenyum, “kapal ini sebentar lagi akan menepi.”
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, gegas aku melakukan semua yang dititahkan sang putri. Ini hari keempat aku dan rombongan dari Kerajaan Pajajaran mengarungi Laut Jawa. Berlayar ke timur, mencapai Selat Madura. Perjalanan kami lanjutkan ke muara Brantas. Hingga akhirnya kapal ini tiba di Trowulan, ibu kota Majapahit.
Perjalanan panjang ini tentu amat berat untukku. Maka, saat pertama kali berhasil menyentuh daratan, hanya perasaan lega yang terbit di dada. Perlahan kuinjakkan kaki yang telanjang ini hingga terbenam di pasir.
Lidah ombak menjulur-julur, menjilat kain sampingku hingga basah. Aku segera menuntun Kanjeng Putri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk turun dari kapal. Putri kebanggaan Pajajaran yang sebentar lagi akan menjadi permaisuri Kanjeng Raja Hayam Wuruk, putra mahkota dari Kerajaan Majapahit. Ya, kedatangan kami dari tanah Pasundan ini adalah untuk melangsungkan pernikahan mereka yang akan digelar di Istana Majapahit.
Bagiku, pengabdian tak ubahnya detak jantung. Sementara kesetiaan selayak embusan napas. Kuserahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk mengabdi kepada keluarga Yang Mulia Prabu Lingga Buana. Akulah yang melayani semua kebutuhan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi semenjak ia masih kanak-kanak. Maka ke mana pun sang putri pergi, aku pasti akan setia menemani.
Sejenak setelah menginjak daratan, rombongan Pajajaran pun disambut baik oleh utusan dari Majapahit. Kami dipersilakan untuk beristirahat, melepas penat setelah berhari-hari terapung di lautan, di tempat yang sudah mereka siapkan: sebuah pesanggrahan yang terletak di daerah yang disebut Bubat.
Semenjak tiba di pesanggrahan Bubat, entah kenapa perasaan lega yang sebelumnya kurasakan tiba-tiba saja sirna. Berganti rasa cemas yang entah datang dari mana. Suasana Bubat yang baru saja diguyur hujan membuat hatiku semakin sendu. Hawa dingin menyergap, disusul kabut tebal yang datang tak diundang membuat suasana semakin mencekam. Bulu kudukku tiba-tiba saja meremang ketika dari kejauhan samar-samar terdengar lolongan anjing yang amat memilukan.
“Nyai, tolong rapikan rambutku!”
Suara lembut itu menarik kembali pikiranku yang sedari tadi menjelajah ke alam kecemasan. Aku segera mengangguk mendengar titah dari sang putri. Perlahan kusisir rambut hitam dan panjang itu penuh kasih sayang.
Rasanya baru kemarin aku menemani sang putri belajar berjalan. Dan kini, tiba-tiba saja ia akan melepas masa lajang. Ah, mungkinkah rasa cemas yang kurasakan ini adalah hal wajar, biasa dirasakan seorang ibu yang akan melepas anak gadisnya ke pelaminan? Entahlah, aku pun tak mengerti.
Sungguh kecantikan putri yang ada di hadapanku ini bak titisan bidadari. Laki-laki mana yang tidak terpukau saat melihat paras cantiknya? Tua-muda, miskin-kaya, semua raja sampai rakyat jelata menyanjung dan memujanya. Mojang Parahyangan yang telah dinobatkan sebagai ahli waris takhta Pajajaran itu benar-benar telah menyihir sukma seluruh pria. Kecantikannya tersohor ke seluruh penjuru Nusantara. Maka, pantas saja jika Raja Hayam Wuruk pun dikabarkan tergila-gila kepada.
“Suara apa itu, Nyai?” Gerakan tanganku di atas kepala sang putri seketika terhenti. Kupasang pendengaran kuat-kuat. Mencoba memastikan dari mana asal suara yang di maksud sang putri. Samar-samar telingaku menangkap keributan dari arah luar pesanggrahan.
“Paduka tunggu di sini dulu,” kataku, “Biar hamba melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar.” Aku meminta izin. Putri Dyah Pitaloka mengangguk. Aku pun mengendap-endap keluar dari bilik itu.
Artikel Terkait
Cerita Pendek: AISARA BILANG MENCINTAIKU
Cerita Pendek: LASTRI
Cerita Pendek: PERTEMUAN
Cerita Pendek: DERA LARA